My Mind
BERHARAP BESAR PADA PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT
DI INDONESIA




Datangnya musim hujan sering kali diikuti pula oleh kehadiran fenomena alam berupa sakit-penyakit yang muncul secara musiman sebagai pandemi atau wabah penyakit.

Pada saat memasuki musim penghujan, pemerintah secara gencar membuat sejumlah iklan layanan masyarakat yang isinya antara lain berupa penyuluhan-penyuluhan serta himbauan agar masyarakat menjaga kebersihan, dengan memanfaatkan media televisi dan penempelan pamflet-pamflet yang ditempel di pusat keramaian serta di sejumlah sarana kesehatan seperti puskesmas, klinik, dan rumah sakit.

Berbagai tindakan penerangan itu dilakukan karena fasilitas serta pelayanan kesehatan masyarakat yang disediakan dan dimiliki pemerintah masih belum mampu memenuhi kebutuhan akan adanya pelayanan kesehatan yang memadai bagi seluruh masyarakat.

Oleh sebab itu, upaya penanggulangan serta pencegahan penyebaran berbagai sumber penyebab penyakit, memang tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, tanpa ada upaya aktif masyarakat untuk mau dan bisa mendisiplinkan serta membiasakan diri untuk menjaga kebersihan lingkungan.

Berapapun pendanaan APBN yang disediakan untuk menunjang ketersediaan fasilitas, sarana, dan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat, tidak akan bermanfaat banyak apabila masyarakat sendiri tidak memiliki kesadaran untuk mau menjaga kebersihan diri serta lingkungannya, yang selama ini masih bersifat temporer karena baru tersadar ketika penyakit telah menyebar atau ada himbauan dari pemerintah, dalam hal ini melalui kantor Kementerian Kesehatan maupun dinas kesehatan setempat.

Bangsa Indonesia dapat mencontoh pola hidup bersih dan tingkat kedisiplinan yang teramat baik dari penduduk negara Singapura, dimana tingkat kesadaran masyarakat Singapura mampu membuat negara pulau itu sangat bersih dan sangat rendah tingkat pencemaran udara, air, dan tanah dari berbagai bahan polutan serta sampah.

Masalahnya sekarang, bangsa kita belum sedisiplin penduduk Singapura. Rendahnya tingkat kesadaran dan sikap disiplin masyarakat terjadi karena tingkat kemampuan ekonomi serta pendidikan masyarakat masih teramat rendah.

Lebih dari 85 % penduduk Indonesia masih termasuk dalam kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan rendah. Dari presentase tersebut, lebih dari 70 % diantaranya termasuk keluarga miskin serta sangat miskin.

Keadaan ini membuat usaha pemenuhan kualitas terbaik kesehatan masyarakat masih harus ditunjang oleh kebijakan bidang kesehatan yang disiapkan pemerintah karena masyarakat sendiri cenderung lebih berkonsentrasi dan memfokuskan diri untuk bisa survival dalam menjaga kelangsungan hidupnya. Kondisi ini membuat berbagai upaya menanggulangi potensi penyebaran penyakit, baru bisa dilakukan apabila telah terjadi pandemi dari suatu penyakit yang mulai merebak ditengah masyarakat.  

Contoh nyata bisa dilihat dari upaya penanggulangan penyebaran penyakit diare yang menerpa warga di sebagian wilayah Tanjung Priok beberapa waktu. Pada saat jumlah warga yang terserang sakit diare telah memenuhi hampir seluruh ruang Rumah Sakit Koja, pemerintah sudah cukup kerepotan untuk menanggulanginya.

Pemerintah memang berusaha keras untuk dapat mengupayakan adanya perlindungan dan jaminan pelayanan kesehatan yang layak serta berkualitas baik bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat miskin dan tidak mampu lainnya. Salah satu upaya yang dilakukan melalui pelaksanaan program asuransi kesehatan (askes) serta penyediaan jaminan asuransi kesehatan bagi keluarga keluarga miskin.  

Namun belakangan ini, kedua program tersebut sering kali mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Hal ini terjadi karena adanya hambatan, khususnya birokrasi. Pada saat ini, pemerintah masih menunggak dana askes sebesar 1,8 trilyun rupiah, dimana terdapat dana terklaim yang besaran jumlahnya mencapai angka 900 milyar rupiah.

Besarnya tunggakan klaim dana askes tersebut membuat rumah sakit yang menerima program askes mengalami kesulitan pada operasional rumah sakit. Biaya pengobatan dan perawatan pasien askes harus memanfaatkan dana yang ada, sedangkan biaya jasa medis dokter serta perawat terpaksa ditunda. Sungguh, ini merupakan sebuah kondisi dilematis yang harus ditanggung oleh semua rumah sakit penerima program askes.

Dilaksanakannya program kartu berobat keluarga miskin (gakin) juga tidak berjalan dengan lancar karena diterapkannya prosedur pengambilan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari kantor kelurahan dimana warga yang cukup berbelit-belit. Pada sejumlah kasus, bahkan pihak puskesmas atau rumah sakit rujukan pemerintah tidak meluluskan warga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis meskipun telah memiliki kartu gakin.

Keadaan tersebut telah membuat masyarakat miskin dan masyarakat tidak mampu lainnya menjadi risau dan memiliki rasa takut, yaitu mereka tidak bisa berobat atau mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai pada saat mereka sakit.

Belakangan ini masyarakat juga mengalami kerisauan cukup mendalam oleh karena mulai sulit didapatkannya sejumlah obat generik karena pihak pabrikan menganggap biaya produksi sejumlah obat generik tersebut telah membuat mereka terus-menerus mengalami kerugian besar, terutama apabila pemerintah tidak menaikkan harga jual dari obat generik tersebut.

Padahal, keberadaan obat-obatan generik sangat membantu bagi masyarakat miskin dan tidak mampu lainnya untuk dapat memperoleh obat-obatan dengan harga murah dan terjangkau namun dengan kualitas obat sama dengan obat paten.

Kesulitan masyarakat juga ditandai oleh kurang tersedianya fasilitas dan sejumlah sarana kesehatan (seperti puskesmas), yang dapat diandalkan sebagai tempat untuk mendapatkan layanan kesehatan yang memadai dan memenuhi standar kelayakkan pelayanan medis. Kalaupun ada, banyak dari puskesmas-puskesmas itu letaknya jauh dari tempat dimana mereka tinggal.

Bahkan belakangan ini, banyak puskesmas yang tidak memiliki dokter karena dokter yang ditempatkan di puskesmas terpencil telah habis masa penempatannya, sedangkan sebagian besar dokter-dokter yang baru saja lulus enggan untuk ditempatkan di daerah terpencil atau jauh dari keramaian kota. Padahal keberadaan para dokter di puskesmas yang letaknya terpencil, sangat dibutuhkan masyarakat.

Sebagai contoh, kekosongan dokter yang berdinas di puskesmas akan ditemui di 400 puskesmas yang ada di Jawa Barat mulai awal tahun 2008. Upaya penempatan dokter pengganti akan dilakukan dengan menempatkan para dokter yang sedang mengambil spesialisasi keahlian.

Memang terlihat jelas kalau upaya penyediaan sarana dan berbagai fasilitas kesehatan yang secara ekonomis bisa terjangkau masyarakat miskin, telah dilakukan pemerintah meskipun masih belum secara merata.

Keadaan ini telah membuat masyarakat miskin dan kelompok masyarakat tak mampu lainnya sulit untuk berharap mendapatkan kesembuhan karena minimnya kemampuan keuangan yang mereka miliki dan seakan mendapatkan perlakuan yang tidak adil.

Padahal, kehadiran sejumlah penyakit baru tidak bisa ditangani apabila mereka hanya mengandalkan obat-obatan tradisional atau generik semata, apalagi oleh dukun-dukun di kampung. Kemungkinan terbesar mereka akan mencoba pengobatan alternatif, yang persyaratan medisnya belum tentu memenuhi syarat-syarat kesehatan yang dapat dipertanggung-jawabkan.

Ironis memang. Kondisi pelayanan kesehatan tidak bisa dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat miskin dan masyarakat kurang mampu lainnya. Keterbatasan kemampuan ekonomi membuat mereka tidak dapat berbuat lebih untuk mendapatkan kesehatan yang layak di negara ini, karena harus dibayar dengan nilai sangat mahal.

Datangnya musim hujan, yang akrab dengan banjir dan kehadiran penyakit tertentu, membuat banyak orang miskin dan kurang mampu lainnya menjadi cemas apabila pada satu waktu mereka menderita sakit. Apabila kondisi pelayanan kesehatan masih seperti sekarang, itu berarti mereka seperti kurang memiliki harapan hidup ketika sakit-penyakit menghinggapi diri mereka.

Mau diapakan lagi, sakit-penyakit itu identik dengan pengeluaran biaya. Pihak yang diuntungkan hanyalah kalangan medis serta farmasi semata. Pemerintah sendiri tidak memiliki dana yang memadai untuk menyediakan fasilitas, sarana, dan juga pelayanan kesehatan yang layak untuk seluruh masyarakat.

Peran aktif pihak swasta dengan rumah sakit dan kliniknya, juga belum bisa dipakai sebagai indikator pembantu pemerintah karena mereka juga mengingingkan adanya profit margin untuk menghidupkan kegiatan rumah sakit atau kliniknya.

Harus kita akui, kondisi pelayanan kesehatan serta ketersediaan sarana dan fasilitas kesehatan di Indonesia memang belum begitu memadai oleh karena keterbatasan dana pemerintah serta kurangnya peran aktif para tenaga medis untuk mau ditempatkan di daerah-daerah.

Namun pada sisi yang lain, setiap individu manusia juga tidak dapat menyalahkan keadaan dirinya sendiri dan juga menyalahkan pemerintah sebagai pihak yang seharusnya memberikan pelayanan kesehatan yang memadai kepada seluruh anggota masyarakat karena pemerintah juga memiliki keterbatasan.

Lalu, kepada siapakah masyarakat miskin dan kurang mampu lainnya mendapatkan pelayanan kesehatan? Haruskah mereka merasakan derita sakit tanpa mereka sendiri bisa merasakan dan mendapatkan harapan untuk menggapai kehidupan yang terjelma dalam bentuk hidup sehat serta mendapatkan pelayanan kesehatan yang manusiawi?

Kondisi ini membuat pengabdian para penyelenggara kegiatan pelayanan kesehatan dengan mendahulukan sisi kemanusiaan sangat diketuk. Mendahulukan keselamatan serta kesehatan orang lain merupakan prinsip yang harus benar-benar ditanamkan oleh setiap pribadi yang bergerak dalam bidang pelayanan kesehatan masyarakat.

Hidup adalah perjuangan, berjuanglah untuk hidup… Nampaknya, kalimat bijaksana itu melekat erat dan terus-menerus harus dirasakan sepanjang umur oleh kelompok masyarakat miskin dan kurang mampu lainnya, dengan sebisa mungkin mereka harus tetap sehat sepanjang hidupnya.
Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment