My Mind
MENGKRITISI KONTES IDOLA DI TELEVISI
(sebuah pendapat pribadi)


Sudah beberapa tahun belakangan ini, dunia pertelevisian kita sedang dilanda demam penyelenggaraan kontes untuk mencari dan menemukan idola baru, yang diperoleh berdasarkan pilihan masyarakat melalui SMS atau voting secara langsung.

Hidup sebagai idola adalah dambaan bagi banyak orang. Tidak sedikit orang yang bermimpi untuk menjadi orang terkenal atau orang yang dikenal banyak anggota masyarakat oleh karena bakat, kemampuan, maupun aktifitasnya.

Padahal, dibalik upaya menunjukkan bakat, kemampuan dan segenap usaha yang dilakukan agar bisa menjadi idola tersebut, ada sederet tanggun jawab moral kepada masyarakat untuk bisa menjaga konsistensi penampilan maupun sikap diri yang tidak mencoreng nama baik serta citranya sebagai seorang idola di tengah masyarakat.

Itu bukanlah sebuah langkah atau usaha yang mudah karena awal kehidupannya seseorang sebagai idola, terjadi secara instan, yaitu dengan mengikuti penyelenggaraan suatu event berupa kontes mencari idola.

Alur kehidupan yang tiba-tiba berubah oleh karena padatnya jadwal kegiatan dan berbagai upaya untuk mengasah atau memperbaiki kualitas penampilan maupun kemampuan, terkadang tidak diikuti oleh kesiapan diri dan mental seorang idola baru karena faktor "tidak terbiasa hidup disiplin atau terjadwal".

Ketika seseorang yang telah mendapat kesempatan untuk menjadi idola baru di tengah masyarakat tidak mampu menjaga stabilitas performa penampilan dan kemampuan dirinya, lalu masih diimbuhi lagi dengan tidak bisa menjaga sikap dirinya, maka dapat dipastikan, lambat-laun masyarakat tidak lagi menempatkan diri seseorang tersebut sebagai idola.

Sejumlah pemberitaan di berbagai media massa pernah mengungkapkan tentang semakin redupnya karir dan sifat keidolaan yang pernah melekat pada diri seseorang karena diri mereka ternyata tidak siap untuk hidup sebagai idola.

Beberapa anggota masyarakat yang ditanyai pendapatnya mengapa keadaan seperti itu bisa terjadi, memberikan jawaban atau komentarnya, kalau keadaan tersebut berasal dari tidak adanya tim manajemen yang secara baik mengelola aktifitas keartisan sang idola, dimana  tugas untuk memperbaiki kualitas sikap serta pola hidup sang idola, ada didalamnya.

Memang ada baiknya, seorang idola itu memiliki tim manajemen yang bekerja untuk mengelola dan mengarahkan segenap karier serta aktifitas yang terkait dengan kemajuan dan keberhasilan seorang idola agar dapat tetap eksis hidup sebagai seorang yang diidolakan  oleh sejumlah anggota masyarakat.

Namun, tidak semua idola baru itu memiliki tim manajemen keartisan yang handal setelah habis ikatan kontrak mereka dengan pihak televisi, karena tidak sedikit dana yang harus dikeluarkan untuk menyiapkan sebuah tim manajemen keartisan yang mampu bekerja secara profesional dan memiliki kredibilitas baik.

Pada sisi yang lain, berhasilnya seseorang untuk tampil sebagai pemenang pertama dalam penyelenggaraan kontes yang bertujuan menghasilkan idola-idola baru di tengah masyarakat, tidak disertai dengan kemampuan atau potensi diri yang sesuai dan memadai, yaitu sesuai dengan standar penampilan seorang idola yang pantas atau selayaknya seorang idola.

Hal ini bisa dilihat dari sejumlah pemenang kontes idola, yang diraih karena adanya faktor simpati publik. Dalam sejumlah kontes, terkadang pihak penyelenggara kontes mempublikasikan atau mengeksploitasi sisi-sisi kehidupan pribadi seorang calon idola, yang dapat mengundang rasa simpati atau mampu menghanyutkan sisi emosional para pemirsanya.

Indikator terbesar kenapa pihak penyelenggara melakukan hal itu, adalah untuk mendongkrak peroleh jumlah SMS dukungan yang masuk kepada seorang calon yang sisi-sisi kehidupan memprihatinkannya, diekspose dan dipublikasikan secara halus serta seapik mungkin.

Dugaan yang paling kuat, hal itu dilakukan untuk kepentingan bisnis semata. Ini dapat terlihat dari kemenangan yang diperoleh seorang calon idola untuk menjadi idola, padahal sang pemenang, cenderung memiliki batasan-batasan kemampuan maupun potensi diri yang membuat dirinya belum mencapai standar point-point penilaian yang pantas dan selayaknya untuk dimiliki seorang idola.

Kemenangan sebagai idola didapat bukan karena kemampuan yang semakin baik atau selalu baik, namun diperoleh karena besarnya rasa simpati masyarakat yang berpartisipasi untuk mengirimkan SMS atau voting dukungan.

Jelas, hal ini merugikan seseorang yang akhirnya tidak terpilih sebagai pemenang kontes untuk menjadi idola, karena kontes tidak memberlakukan sifat fairness dan ada kesan "mempolitisir" keadaan seorang calon idola dalam menentukan pemenang kontes.

Dapatkah itu diterima untuk menjadi konsepsi penilaian yang sejujur-jujurnya dan kredibel untuk mendapatkan nama seorang pemenang? "Hukum rimba" persaingan, akan membuat keidolaan seorang pemenang kontes idola, tidak akan bertahan lama apabila salah satu konsep penilaiannya menggunakan metode demikian.

Bisa dibilang, konsepsi penilaian demikian tidak menghadirkan proses pembelajaran yang benar kepada calon idola dan juga kepada anggota masyarakat yang bertindak sebagai partisipan pemberi dukungan kemenangan, karena sebuah kemenangan diperoleh karena rasa simpati, bukan berdasarkan stabilitas penampilan dengan kemampuan prima dari seorang calon idola.

Apabila keadaan seperti itu memang sengaja dikondisikan demikian, maka bisa dikatakan kalau 2 orang grandfinalis dan anggota masyarakat yang heboh memberikan dukungan, adalah "korban" dari industri pertelevisian kita.

Beberapa orang pemenang atau finalis kontes idola, pada saat ini cukup dikenal namun tidak sangat terkenal. Bahkan ada sejumlah pemenang kontes yang namanya benar-benar sudah tenggelam dan sama sekali tidak pernah muncul dalam pemberitaan di media massa.

Sejumlah idola dan finalis kontes idola, bahkan pada saat ini ada yang hidup dengan terlilit hutang atau hidup dengan cara yang tak menentu.

Keadaan ini bisa terjadi karena pihak televisi, sebagai institusi yang mengorbitkan nama mereka, hanya membantu mendongkrak karier sang idola dan finalis kontes idola sebatas masa kontrak semata. Tanggung jawab moral rupanya belum menjadi ciri kepribadian dari wajah pertelevisian kita.

Hidup dalam dunia hiburan memang penuh dengan persaingan. Siapa yang mampu survival, kehidupan sebagai idola akan memiliki rentang waktu menjadi idola yang lebih panjang dibandingkan mereka yang tidak siap dan tidak sanggup.

Dan pada akhirnya, meniti karier sebagai artis terkenal, hanyalah sebuah angan-angan yang mungkin harus dilupakan. Satu babak kehidupan manusia, yang dibangun dari sebuah mimpi, dijalani dengan usaha, kerja keras, dan berbagai daya upaya, harus terbuang serta berakhir dengan sia-sia.

Tulisan ini bukan ditujukan untuk menjatuhkan atau mendiskreditkan suatu pihak yang terkait dengan kegiatan penyelenggaraan kontes untuk mencari idola.

Tulisan ini untuk mengingatkan kita, kalau sebuah perlombaan itu, memerlukan tindakan fairness dan penilaian yang subyektif, sehingga tidak menghadirkan kondisi yang tidak menyenangkan kepada para peserta kontes yang masuk sebagai finalis dan ada yang menjadi pemenangnya.

Mungkin, menjadi idola hanyalah upaya menggapai mimpi. Namun, mimpi yang dijalani, terkait pula dengan masa depan seseorang. Kita jangan bertindak "setengah hati" untuk mengorbitkan atau mengangkat derajat hidup seseorang, sebab kita dapat menjerumuskan orang lain dalam kehidupan tanpa kepastian pada masa depannya, apabila kita bertindak setengah hati mewujudkan mimpi seseorang.

Andai kita bertindak sebagai panitia penyelenggara sebuah kontes idola, sebaiknya kita juga perlu memberikan landasan berkarier yang kuat bagi para peserta, sehingga kelak, para finalis dan seseorang yang akhirnya terpilih sebagai idola, mampu survival dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Mungkin, menjadi idola merupakan sebuah mimpi. Namun ada harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih di masa yang akan datang. Oleh karena itu, hargailah keinginan dan usaha mereka, sehingga kelak, kehidupan mereka dapat benar-benar menjadi lebih baik dari hari ini.


.Sarlen Julfree Manurung
Labels: | edit post
9 Responses
  1. yang paling males tuh liat acara idola selain Indonesia idol kayak: yang ada di TPI takur2 apa gituh..terus idola cilik, terus stardut, terus mamia, terus super sele....dan yang ga jelas laennya....


  2. setuju untuk satu sisi broer... tapi ngomong-ngomong soal Aris Idol kemarin saya kira itu fair sekali... baru kali ini saya mengikuti perkembangan Indonesian Idol, karena yang kemarin-kemarin menurut saya masih belum memiliki karakter sekuat Aris... rata-rata jual kasihan he he he... memang karir di dunia hiburan daur hidupnya hanya sebentar 1-3 tahun lah... selebihnya si pelaku harus arif n bijaksana untuk memilih dia akan bagaimana...itu resiko atau konsekwensi logis yang harus disiapkan oleh sang Idola....


  3. Itulah sebabnya secara tidak langsung saya mengatakan : apakah dunia kontes tersebut akan membawa masa depan yang lebih baik dari para finalis?
    Beberapa media cetak menuliskan, ada sejumlah eks finalis idola yang hidup terlilit hutang. Apa itu namanya masa depan? Tentu bukan.
    Jadi harus ada respon berupa tanggung jawab moral kepada mereka dari pihak pertelevisian yang mengadakan kontes idola-idolaan...


  4. ira sinaga Says:

    banyak kok yang TIDAK instan...
    banyak dari para peserta yang udah malang-melintang di dunia festival, tapi karena kebanyakan festival di adakan offair, maka jarang kita tau sudah sejauh mana perjuangan mereka-mereka untuk menggapai asa menjadi seorang idola.
    kalau pada akhirnya mereka terlilit hutang, jangan salahkan penyelenggara dong, kalau memang merasa tidak sanggup membiayain hidup, ya tidak usah nekat tinggal di jakarta...
    dan yang ikut kontes2 seperti idol atau mamaia atau stardut atau apalah, saya yakin mereka sudah kaya pengalaman, karena mental berjuang mereka sudah kuat, dan itu tidak mungkin di dapat secara instan...
    bahkan pembuatan mie instan ajah ada proses nya..apalagi seorang idola.


  5. Instan yang dimaksudkan disini adalah menjadi terkenal dalam 3 minggu terakhir sebelum masa kontes berakhir (grandfinalis). Memang ada perjuangan dalam 3 atau 4 bulan selama masa eliminasi, para peserta lain yang tidak menjadi idola, apakah ikut menjadi terkenal setelah mereka terkena eliminasi? Tentu tidak, nama mereka akan dilupakan...
    Beberapa orang yang telah menjadi idola karena ikut kontes beberapa tahun yang lalu, kini sifat keidolaannya memudar. That is real... Sebagai contoh, bisa dilihat dari orang-orang yang pernah ikut AFI, apakah mereka masih se-terkenal saat mereka baru menjadi idola? Tentu tidak. Demikian juga dari Mama Mia, Stardut... bahkan juga ada dari Indonesia Idol.
    Bukankah itu dinamakan instan untuk menjadi idola? yaa...
    Soal terlilit hutang, tolong dikaitkan dengan point-point yang saya bahas pada 3 paragraf terakhir tulisan saya ini.
    Semua alur kehidupan, memang ada prosesnya. Tapi proses menjadi idola itu terhenti, ketika masa keidolaan mereka habis karena kontraknya sudah habis... right?
    Sekarang, apakah pihak televisi terus memproses atau mau terus-menerus mengurus keidolaan mereka setelah kontrak mereka habis? tentu tidak...
    Tulisan yang saya buat, tidak asal-asalan, tetapi berdasarkan pengamatan. Jadi enak kalau tulisan saya ini di discuss... deal? keep on smiling face...


  6. ira sinaga Says:

    ya gak instant lah kalau mereka sudah berjuang sejak kecilll

    kalau yang berjuangnya baru-baru pas ikutan idol - itu namanya instant

    mana kita tau siapa yang audah berjuang dari kecil atau gak...

    seperti Aris - apakah dia instant...ya gak lah, karena sudah bertahun-tahun dia menjalani hidup sebagai pengamen, dan itulah perjuangan dia, dan puncaknya pada saat menjadi idol - apa intu instant..? - ya gak lah, karena dia sudah merintis sejak lama untuk mengejar cita-citanya.

    kalau para idol tiba2 terlilit hutang karena masa kontraknya dah habis - ya itu namanya bodoh - karena dia gak berpikir ke depan - bagaimana kalau masa kontrak nya habis - orang yang tandatangan kontrak harusnya tau kapan kontraknya habis - sehingga dia (harusnya) sudah punya cadangan lain untuk merintis karier nya.


  7. lha... kan yang dibicarain juga soal jadi idola?

    Aris memang menjalani kehidupan sebagai penyanyi. Tapi, apakah sebelum dia memberanikan diri untuk tampil di Indonesian Idol, apakah selama itu dia berpikir, bahwa kehidupannya sebagai penyanyi pada saat itu adalah agar sebagai idola? Tentu tidak, tapi mencari nafkah toohhhh...

    Kita buka dong perspektif cara berpikir kita dengan memperhatikan apa judul dan tema tulisan.

    Soal terlilit hutang karena kontrak kerja habis, jawaban saya : gak semua orang itu smart dan berpikir panjang. Meskipun tahu kapan kontraknya habis, belum tentu dirinya kepikiran akan "ditinggalkan" begitu saja oleh pihak televisi. Kasihan kan, kalo mereka datang dari daerah... Gak punya uang untuk pulang kampung, terlilit hutang pula...


  8. ShAnTi NoNi Says:

    Yupi bener banget paling terkenalnya ya selama Kontes2 itu doang abis itu gw ngak kenal lagi
    plus yang ngomentarin kayak bener aje paling nyebelin tuh yg Tpi atau Indosiar ammpuun deh yg jadi komentatornya ngak banget banci2 gitu..


  9. i'm agree with you... itu maksud dari artikel aku ini... terkenal sesaat, lalu dibuang. kasihan kan... seperti meninggalkan anak ayam di tengah padang rumput sehingga mudah diterkam kehidupan alam yg buas...


Post a Comment