My Mind
Hari ini, tulisan adikku, Amir Faisal Manurung, dimuat di Harian Surat Kabar MEDIA INDONESIA dengan judul artikel "Menjual" Iptek Pada Pemilu 2009.

Isi lengkap tulisan adikku tersebut, aku lampirkan dibawah ini.

"MENJUAL" IPTEK PADA PEMILU 2008

SATU tahun menjelang Pemilu 2009, pengalaman demokrasi diperkaya 
dengan berbagai ingar bingar pesta demokrasi tingkat daerah.
Menarik untuk dilihat, wacana teknologi ternyata tidak pernah
dijadikan sebagai ‘bahan jualan’ oleh para kandidat dalam berbagai
putaran pilkada.

Kasus yang seharusnya meletakkan teknologi sebagai cerita utama
misalnya perbaikan layanan transportasi dan energi meialui iptek.
Hal itu belum diangkat menjadi topik hangat. Sungguhkah politik
tidak bisa merangkul masalah iptek?

Tengoklah jelang pemilu Amerika Serikat. Media nasional kita banyak
menyadur berita kampanye calon kandidat presiden dan Partai Demokrat,
Hillary Clinton dan Barack Obama. Di sana ceritanya berbeda. Kedua
kandidat berusaha menyampaikan visi mengubah lukisan wajah AS, yang
dituding dunia intemasional sebagai negara rakus minyak bumi
sehingga tega mencaplok Irak.

‘Kuas’ yang dipakai untuk mengubah lukisan tersebut adalah teknologi dan inovasi.

Hillary seringkali menggencarkan ide bahwa AS mampu untuk
menghilangkan kecanduan terhadap minyak bumi dengan modal kekuatan
budaya inovasi mereka.

Harian Media Indonesia mencatat Hillary menginginkan kejayaan AS di
era perlombaan antariksa harus diulang dalam kasus pengembangan
energi alternatif (Media Indonesia, 15/3). Bagi AS, iptek dan
inovasi adalah masalah harga diri.

Sementara itu, pada kegiatan pilkada dan pemilu, kita baru bisa
mendengar topik iptek dibicarakan dalam keperluan komputerisasi
pengolahan basis data hasil penghitungan suara.

Barangkali, kelompok skeptis akan mengatakan kasus para pemimpin di
Amerika gencar menjual topik teknologi semata karena rakyatnya sudah
memiliki pengalaman panjang dalam pengembangan iptek. Sedangkan di
Indonesia, orang masih bicara perut. Dapatkah topik iptek bisa
menjadi magnet kuat kampanye pilkada/pemilu untuk warga yang masih
memikirkan masalah perut?


Iptek dan masalah perut

Pada saat menjadi pembicara utama pada Kongres Ilmu Pengetahuan
Nasional (Kipnas) Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia, di Jakarta,
20 November 2007, mantan presiden India periode 2002-2007 Abdul
Kalam
pernah berbagi pola pikir dengan audiensi Indonesia tentang
pengalaman negaranya mengawinkan logika politik dan iptek.

Seluruh dunia tahu reputasi pengaruh kekuatan ekonomi India saat ini
sudah semakin diperhitungkan.

Di acara Kipnas 2007 tersebut, Abdul Kalam mengatakan bahwa obsesi
besar India untuk menggenjot pertumbuhan perekonomian adalah demi
mengatrol derajat hidup 220 juta penduduknya yang berkemampuan
ekonomi paling lemah dan tinggal di daerah terpencil untuk
bisa meningkatkan kemampuan 22% populasi tersebut, mereka
membutuhkan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 10% selama lebih
dari l0 tahun berturut-turut.

Modal motivasi ini telah memampukan para penguasa politik India
untuk membuka iptek sebagai instrumen utama pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan nasional.

Sekarang, Indonesia pun bisa menyaksikan bahwa ekonomi India telah
menanjak sekitar 9% per tahun. Para ahli memperkirakan bahwa
kalangan ekonomi menengah negeri itu akan membengkak jumlahnya dari
50 juta ke 500 juta orang dalam periode 20 tahun menjelang.


Iptek bisa Iebih murah

Paling tidak tercatat tiga mitos besar yang menghalangi kita untuk
bisa percaya bahwa Indonesia layak menjadi pemain dunia dalam iptek
dan inovasi.

Mitos pertama, inisiatif peningkatan iptek dan pengembangan inovasi
harus selalu menjadi urusan pemerintah.

Kedua, Indonesia cenderung meyakini mitos bahwa litbang iptek dan
inovasi hanya bisa dilakukan di luar negeri.

Ketiga, harga Litbang mahal dan cenderung membuat bangkrut saja.

Bila dirangkum, ketiga mitos tersebut mengatakan bahwa Indonesia
tidak memiliki cukup dana untuk membangun iptek dan inovasi. Namun
dalam situs semi-blog-nya, Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto
Kadiman
menampik hal tersebut.

Dalam tulisannya bertajuk ‘Mitos Inovasi di Indonesia’, ide besar
yang dituangkan oleh Menristek adalah bagaimana kelompok akademisi,
bisnis, government/pemerintah (populer disingkat ABG) bisa saling
berpegangan tangan.

Boleh dibilang, ketidakmauan saling kerja sama antara
akademisi-bisnis-pemerintah, adalah akar muasal keyakinan palsu akan
mahalnya harga pengembangan iptek.

Di dalam relasi ABG, golongan akademisi bertindak sebagai penyedia
modal inovasi teknologi. Grup bisnis sebagai produsen dan pemasar
produk akhir.

Sedangkan pemerintah adalah regulator relasi yang bertugas menjamin
hubungan kerja sama berlangsung adil dan dinamis. Oleh sebab itu,
proses akumulasi dapat meningkatkan nilai fungsi teknologi melalui
jalan inovasi yang dibangun dalam jejaring kerja sama ABG agar bisa
berjalan dengan Iebih efektif.

Sayang sekali, fakta di lapangan menunjukkan bahwa ketiga komponen
tersebut masih saling menjauhkan diri, mengotak-ngotakkan fungsi
diri mereka.

Kelompok akademisi belum peka terhadap prospek yang bisa diraih
dan pengembangan relasi dengan industri. Kelompok industri masih
terperangkap pada pokok masalah untung-rugi jangka pendek.

Pemerintah pun belum memiliki daya adaptasi tinggi dalam
mengakomodasi kebutuhan proses akumulasi peningkatan nilai produk
dan relasi akademisi-bisnis tersebut.

Dalam sejarah pengembangannya, iptek selalu dimotivasi untuk
membantu manusia bertahan hidup. Pengetahuan modern pun bisa
memahami bahwa iptek adalah bagian rumus untuk usaha melipat
gandakan nilai efisiensi modal manusia dan uang yang ditanamkan
(total factor productivity/TFP).

Dalam menyadari pentingnya iptek, Jepang, Korea Selatan, China, dan
India pun mengambil langkah fortifikasi (penambahan nilai) teknologi
demi bisa menguasainya.

Mereka berusaha rnemberikannilai tambah dan berbagai produk iptek di
negara-negara yang sudah lebih maju sebelumnya.

Era globalisasi yang semakin meningkatkan tempo persaingan telah
mengurangi alasan kita tidak membicarakan iptek dalam berbagai
kesempatan politik.

Jika kita ingin selamat, tidak tergilas oleh kemajuan negara-negara
lain, satu-satunya cara adalah memperjuangkan agar iptek nasional
kita memiliki kedudukan setara dengan iptek negara pesaing kita.


Tidak ada jalan lain, Indonesia harus bersikap lebih positif
terhadap pengembangan dan aplikasi ipteknya sendiri.

Pola ABG, yang menitikberatkan pada diferensiasi tanggung jawab,
adaptasi antar kelompok, sikap inklusif, dan 'value generalization',
menjadi solusi untuk memasukkan Indonesia sebagai kelompok negara
yang produktif, mampu mengeksplorasi fungsi kerja setiap
golongannya.

Mudah-mudahan para kandidat pemimpin negara nantinya bisa memetik
ide tulus dan para petinggi di negara lain yang telah mau menunjuk
iptek sebagai pintu yang bernilai tinggi dalam meningkatkan daya
kohesivitas golongan rakyatnya masing-masing.

Tanpa berjuang mematangkan sikap positif kepada sistem pengembangan
iptek dan inovasi, rasanya tidak mungkin Indonesia bisa berjaya.

(MEDIA INDONESIA, 15 Mei 2008)


=
God bless Indonesia Richly!

Labels: | edit post
2 Responses
  1. wah salut deh buat adeknya..,
    abangnya kapan nyusul nulis artikel di surat kabar Kompas..?
    he3.. kidding bro...

    Gbu..


  2. Hehehehe... ndak papa. Aku ngerti kok. Tulisan aku sudah banyak dimuat di koran online kabarindonesia.com.
    Kompas? Butuh waktu untuk menembus birokrasi bagi orang baru seperti aku... :)

    GBU too

    .Julfree


Post a Comment