My Mind
Sebuah stasiun televisi swasta kemarin malam memberitakan, perkelahian antar pelajar di kota Depok, mulai marak kembali. Perkelahian tersebut terjadi setelah salah satu kumpulan pelajar melakukan aksi sweeping di berbagai angkutan umum yang melintas di depan mereka, untuk mencari pelajar dari salah satu sekolah, yang selama ini telah dianggap sebagai musuh sekolah mereka.

Aksi premanisme para pelajar dari sebuah sekolah yang ada di Depok dan ditayangkan televisi swasta itu, mirip sekali dengan aksi yang dilakukan oleh anggota FPI, yang telah melakukan tindak kekerasan dan anarkis, terhadap anggota masyarakat yang tergabung dalam AKKBB di Silang Monas beberapa waktu yang lalu.

Pada saat itu, para anggota FPI datang bergerombol, mendatangi kumpulan massa AKKBB sambil berteriak-teriak, dan melakukan tindak penyerangan secara membabi-buta, terhadap kelompok masyarakat yang sedang berkumpul.

Layaknya gerombolan cowboy yang ingin merampok kereta atau bank di masa lampau, anggota FPI datang menyerang, menebarkan rasa takut pada sekumpulan anggota masyarakat, yang tidak siap atau mempersiapkan diri menghadapi adanya upaya jahat berbentuk tindak kekerasan berupa pemukulan dan perbuatan anarkis.

Masalahnya sekarang, para cowboy pada masa lalu itu, memang hidup dalam kehidupan dunia yang belum benar-benar menerapkan aturan serta kendali hukum, sehingga penuh dengan tindak kekerasan, dimana pertumpahan darah terkadang dipakai sebagai jalan keluar penyelesaian masalah, dan persaingan antar kelompok penjahat yang memperebutkan suatu wilayah sulit untuk dibasmi atau mendapat pembinaan dari aparat penegak hukum.

Senjata api dipakai para cowboy untuk melumpuhkan atau membunuh pihak yang dianggap sebagai musuh. Kehidupan para cowboy masih dalam lingkar kehidupan manusia yang belum beradab.

Beda hal namun memiliki kemiripan dengan perilaku yang ditunjukkan FPI. Para anggota FPI telah hidup di dunia yang beradab, dimana ada dialog dan aturan hukum yang bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah, tanpa harus bertindak dengan menggunakan kekerasan.

Nilai keberadaban juga ditunjukkan dengan adanya norma-norma agama, yang selalu dipakai sebagai pengendali perilaku, dan bukan untuk menghadirkan rasa cemas pada orang lain. Perilaku yang beradab merupakan budaya, tidak sekedar wacana yang ada untuk sekelompok orang semata, namun berlaku di seluruh lapisan masyarakat.

Insan yang beradab adalah pribadi manusia yang berakal budi luhur, yang memegang prinsip, bahwa setiap perbuatan yang diekspresikan kepada orang lain itu, selayaknya bertujuan untuk tujuan baik serta dalam konteks menyatakan kebenaran, bukan bermakna pembenaran. Sehingga apa yang dilakukan FPI, dapat dikatakan sebagai perilaku orang-orang yang jauh daripada nilai-nilai peradaban.

Gaya hidup yang mengedepankan kekerasan, bukanlah cerminan suatu perilaku hidup yang dibenarkan agama atau sikap dari orang yang memeluk suatu agama. Mereka yang melegalkan tindak kekerasan, menempatkan keagungan nilai-nilai agama, dengan  cara menafsirkannya sesuai dengan pola pemikiran sendiri, sehingga manusia berani bertindak sebagai hakim atas orang lain.

Hukum Tuhan dan hukum manusia dilanggar sekehendak hatinya. Nurani murni yang seharusnya dijalani sebagai sebuah kepatutan sikap dari orang-orang yang mengaku menganut suatu beragama, dibiaskan seutuhnya dengan maksud, agar bisa digunakan untuk memuaskan nafsu besar pribadi atau kelompok, yang didemonstrasikan dengan tindak kekerasan atau perilaku destruktif, sehingga keberadaan dan posisi harkat serta martabak pihak lain dapat ditekan, atau bahkan, dienyahkan.  

Entah kenapa, para pemimpin dan anggota FPI yang sesungguhnya sadar dan tahu kalau perbuatan mereka yang diilhami oleh suatu tindakan penuh kekerasan dan anarkisme, merupakan sebuah perbuatan salah. Padahal, mereka selalu membawa simbol-simbol agama yang menentang keras adanya tindak kekerasan dan upaya menghakimi orang lain.

Akan tetapi, akal pikiran manusia yang ada didalam diri anggota FPI, rupanya dipakai untuk mengaburkan makna keimanan serta sikap percaya kepada Tuhan dalam konteks pengertian yang sesungguhnya, sehingga mudah saja dihadirkan suatu pernyataan lantang, bahwa kekerasan dapat saja dilakukan untuk membela agama.   

Ketika keberadaan Tuhan seakan dianggap tidak ada, mereka dengan berani mengumbar sebuah pernyataan, bahwa merekalah pihak yang paling benar dan merasa yakin kalau tindakan mereka adalah cara untuk meluruskan jalan Tuhan.

Sesungguhnya Tuhan tidak memerlukan pembelaan dari manusia, apapun bentuknya. Tuhan merupakan Pribadi yang mampu menunjukkan eksistensi keberadaan dan juga kekuasaanNya, karena Tuhan adalah Pribadi yang berkuasa atas kehidupan, baik pada saat nafas kehidupan masih ada, maupun pada saat Tuhan telah menetapkan kehidupan di muka bumi ini telah berakhir.

Memperhatikan sikap yang ditunjukkan oleh pimpinan dan para anggota FPI tersebut, sejumlah pihak sempat berpikir kalau tindakan FPI itu sebagai bentuk memenangkan persaingan, karena mereka melihat, perkembangan kehidupan kelompok Ahmadiyah, pihak yang beberapa tahun ini keberadaannya mendapatkan tentangan keras dari FPI, telah mendapat tempat dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat.

Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia, selama beberapa puluhan tahun, tidak pernah mendapatkan tekanan besar dalam bentuk apapun, seperti yang dilakukan oleh FPI dan beberapa ormas lainnya.

Tindakan menentang keberadaan JAI, memang sudah beberapa kali tercetus. Bahkan hal itu sudah terjadi semenjak masa Presiden Soekarno masih berkuasa. Namun Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) tetap ada dan terus berkembang.

Wujud perkembangan itu terlihat dari keanggotaan dari penganut aliran Ahmadiyah, yang telah mencapai 500 ribu orang. Tentunya, jumlah anggota sebanyak itu, tidaklah sedikit. Apabila anggota JAI memiliki wilayah kekuasaan, maka mereka bisa mendirikan sebuah negara.

Ruang gerak JAI kembali terganggu ketika MUI, dalam beberapa kesempatan, telah mengeluarkan fatwa bahwa ajaran yang digunakan JAI adalah sesat. Namun fatwa MUI terhadap JAI yang dikeluarkan pada tahun 2008 ini, diikuti oleh pernyataan, agar masyarakat tidak bertindak dengan menggunakan kekerasan.

Pernyataan ini bagaikan sebuah sinyal, kalau MUI menyadari bahwa fatwa terhadap keberadaan JAI yang mereka keluarkan, akan menghadirkan tindak kekerasan atau bahkan kericuhan didalam masyarakat.

Apabila kesadaran itu memang ada, seharusnya MUI melakukan pendekatan dengan para pemimpin serta anggota JAI, berdialog untuk mendapatkan solusi, untuk memperoleh jalan keluar, atau bertukar pikiran untuk mencari kesamaan cara pandang, sehingga tidak mengundang polemik dan keresahan di tengah masyarakat.

Besarnya kekuasaan MUI, yaitu untuk menentukan apakah suatu komunitas maupun produk barang layak berkembang atau menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Indonesia, seharusnya digunakan dengan bijaksana.

Sikap yang lebih bijaksana seharusnya lebih ditunjukkan oleh pimpinan pusat MUI, sehingga segenap konsep pengajaran agama yang dipegang JAI, tidak harus menghadirkan permasalahan baru, seperti adanya perilaku ekspresif radikal, bersifat destruktif serta tidak terkendali dari dalam masyarakat, layaknya gerombolan cowboy yang sedang mengacau dan mencari-cari lawan untuk disingkirkan.

Perilaku layaknya preman yang dilakukan oleh anggota FPI di Silang Monas terhadap massa AKKBB, terjadi karena adanya suatu kebijaksanaan yang tidak menempatkan dialog sebagai sebuah budaya baik dalam masyarakat.

Gerakan destruktif berupa tindak kekerasan juga bisa terjadi karena adanya suatu anggapan,  bahwa melakukan tindak kekerasan, merupakan ekspresi radikal yang diperkenankan dilakukan untuk menekan keberadaan pihak lain, selama tindak represif yang disertai kekerasan, dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk membela hal-hal prinsip.  

Masyarakat sudah jenuh dengan berbagai tindak kekerasan. Masyarakat sudah tidak respek lagi terhadap tindakan yang justru membuat suasana menjadi tidak kondusif lagi karena beban kehidupan ekonomi masyarakat sudah terlalu berat.

Oleh karena itu, berbagai tindakan yang berpotensi menghadirkan konflik horizontal di tengah masyarakat, pasti mendapatkan kecaman serta protes keras dari masyarakat. Apalagi kalau tindakan yang bisa menghadirkan konflik tersebut, mengatasnamakan agama untuk maksud pembenaran, sehingga dianggap sah-sah saja apabila melanggar aturan hukum yang berlaku di negara kita.

Kekuasaan serta simbol-simbol Tuhan dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan dan upaya menekan orang lain. Kekerasan dijadikan pembenaran sebuah tindakan. Hukum negara seenaknya saja dilanggar. Apa maunya sih para anggota FPI itu?

Jelas-jelas mereka menghadirkan rasa takut ditengah masyarakat, kenapa belum ada tindakan tegas atas kelompok mereka? Hanya beberapa orang saja yang melakukan tindak kekerasan berupa pemukulan dan perbuatan anarkis, yang ditangkap.

Padahal dengan jelas sekali seluruh media televisi swasta serta sejumlah media cetak, telah melansir gambar-gambar yang menunjukkan kekerasan yang dilakukan FPI di Silang Monas terhadap massa AKKBB.

Negara ini memang telah dipenuhi oleh cowboy-cowboy, yang mempersenjatai diri dengan benda-benda keras, alat pemukul atau senjata tajam, dimana mereka siap untuk menyakiti dan melukai, atau bahkan bila dirasakan perlu, mereka melegalkan tindakan untuk membunuh pihak lain yang tidak sejalan. Berbagai tindak kekerasan, benar-benar mereka halalkan.

Haruskah negara kita masih memberikan toleransi dan memberikan celah kebebasan ruang bagi FPI untuk mengulangi segenap perbuatan-perbuatan kasar, brutal, serta destruktif, yang telah mereka lakukan selama ini?

Apabila negara ini memang benar-benar negara hukum, deret panjang tindakan brutal FPI selama ini harus dihentikan, karena sangat besar kemungkinan, akan bermunculan kelompok cowboy-cowboy lain, yang merasa memiliki hak untuk bertindak atas nama pembenaran, sehingga hukum pun dilanggar dan dilecehkan.

Pemerintah harus memikirkan, agar semua kecemasan dan keadaan tidak nyaman yang telah dihadirkan FPI melalui tindakan-tindakan bergaya cowboy-nya tersebut, tidak terulang dan menjadi kebiasaan, yang sangat lemah upaya untuk mendapatkan tindakan hukum.

Ini negara Indonesia, bung. Ini bukan negara tempat para cowboy liar (yang notabene merupakan bagian dari warisan sejarah negara Amerika Serikat, negara yang mereka benci) yang bebas berbuat semaunya.

Citra bangsa dan agama Islam telah tercoreng oleh sikap arogan para pemimpin FPI, yang tidak bisa menahan diri dan bersikap dengan kepala dingin, seolah-olah mereka adalah penguasa negara yang harus dilaksanakan setiap keinginannya.

Well, Indonesia bukanlah negara cowboy yang bebas menjalankan perilaku tidak bersahabat atau penuh kekerasan untuk memenuhi ambisi, hasrat, dan keinginan pribadi atau golongan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat agamais, punya budaya, tata krama, dan ramah dalam bersikap.

Ya, inilah negeri Indonesia, bukan negeri cowboy dengan segenap pernak-pernik kekerasannya.


Cinta Kedamaian...
Labels: | edit post
13 Responses
  1. sannyo - Says:

    Amerika dibenci dan dipuja ternyataaa......


  2. hahahaha... begitulah kehidupan di Indonesia, suka mendua hati...



  3. Bro, kemana aja loe? Muncul-muncul nulis bubarkan FPI... wekekekek...


  4. duh mas mungkin beberapa orang Indonesia pengen jadi cowboy kalle..penasaran gituh ma pelm2 yang dolo sempet tenar di TV, karena seru jadi dipraktekkin..itulah bahayanya TV.heheheheh


  5. iya ya, mungkin aja mereka ingin terkenal karena bisa masuk teve, hehehehe...




  6. Kenapa sih, FPI itu ga dibubarin aja? Udah banyak banget kasus anarkis yang mereka lakukan kan? Sok bawa2 nama moral lah, agama lah... Ck ck ck... ga tau malu!


  7. simon petrus Says:

    benang kusut perjalanan peradaban bangsa ini dan tampaknya telah berhenti disatu titik.
    Apakah ini ada hubungannya dengan kemiskinan ? nampaknya tidak, ada negara yang lebih miskin tapi beradab, lalu dimana akar permasalahannya ?
    Semua sosiolog dan ahli kemanusiaan ramai berdiskusi di media tapi tetap saja tidak ada perubahan.
    Siapa yang bisa merubah adab bangsa ini ? rakyat itu sendiri ? bukankah pendapat dan keinginan manusia berbeda-beda ?


  8. Bhineka Tunggal Ika yang ada didalam Pancasila, seharusnya menjadi salah satu landasan untuk menciptakan manusia yang beradab. Ketika bangsa-bangsa di dunia bersama-sama bekerja untuk mengatasi masalah global, sebagaian masyarakat Indonesia justru berpikir sebaliknya.
    Apa kata dunia?


  9. Semuanya itu karena hati manusia semakin bengis dan kejam...Andai semua mengganggap orang lain adalah keluarganya.. negeri cowboy aja belum tentu sekasar ini..


  10. yang ada mestinya situs ini di bubarin, artikel sampah diatas adalah contoh kepicikan pihak tertentu terhadap islam.... ingatkah kalian kasus ambon? muslim di bantai kristiani? siapa yang bar-bar BUNG? kami atau kalian?


Post a Comment