My Mind

Warga Gereja dan Gonjang-ganjing Politik

Andreas A Yewangoe


Makin mendekat ke tahun 2009 suhu politik makin memanas di Tanah Air. Berbagai gonjang-ganjing politik mencuat di mana-mana.

Sebagaimana kita ketahui, tahun 2009 adalah tahun penting bagi bangsa kita. Pemilu untuk memilih anggota-anggota legislatif, presiden dan wakil presiden akan diselenggarakan pada tahun itu.

Kemudian, sejak beberapa tahun lalu di berbagai penjuru Tanah Air diselenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada), yang tidak kurang menyajikan gonjang-ganjing politik.

Penyelenggaraan pilkada adalah baru dalam budaya politik kita setelah sekian lama tertawan di dalam budaya politik Orde Baru yang otoritarian. Semua kegiatan itu memperlihatkan bahwa kita sedang berada dalam proses demokratisasi. Ini hal "mahal", yang di banyak negeri tidak selalu mulus pelaksanaannya.

Maka kita memang patut bersyukur, lebih-lebih lagi ketika negeri kita sekarang dijuluki sebagai negara demokrasi nomor tiga terbesar setelah India dan Amerika Serikat.

Tetapi, pelaksanaan demokrasi juga tidak dengan sendirinya mulus. Kita masih berada dalam tahap-tahap transisi. Sebagaimana kita saksikan dalam berbagai pilkada, misalnya, tidak serta-merta seorang calon yang kalah (dan/atau para pendukungnya) menerima kekalahannya.

Masih ada protes di sana-sini, yang terkadang berlarut-larut, sehingga menghalangi berbagai program pembangunan yang mestinya dilakukan di daerah yang bersangkutan.

Fakta lain adalah hampir tidak terhindarkan adanya calon yang secara instan diajukan (atau mengajukan diri), bukan karena yang bersangkutan sudah dikaderkan dari bawah, tetapi karena mengandalkan kemampuan "gizi". Dengan sendirinya kader-kader terbaik tersingkir hanya karena tidak mampu secara keuangan. Sebaliknya, hanya yang pas-pasan yang tampil ke depan. Inilah sebuah ironi yang patut mendapat perhatian kita.

Dalam keadaan seperti ini tidak jarang gereja juga terseret-seret. Memang tidak dapat dihindarkan bahwa gereja pun, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, akan ikut terseret-seret dalam seluruh gonjang-ganjing politik itu. Namun, gereja tetap mempunyai prinsip teologis yang tidak boleh di- ombang-ambingkan.

Politik Apa

Menyimak perkembangan akhir-akhir ini, kita memperoleh kesan bahwa gereja, baik sebagai lembaga maupun warganya, tidak (lagi) menabukan politik.

Pada masa lampau, sering dikatakan bahwa gereja alergi terhadap politik. Ini tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa dalam praktiknya, politik memang tidak terlepas dari berbagai "transaksi" yang dalam banyak hal bisa tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai kristiani.

Dewasa ini gereja dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak lagi menafikan politik. Tetapi, tentu saja masih harus dijelaskan, politik jenis apa yang dimaksudkan itu.

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam dokumen "Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama" (PTPB) merumuskan: "Gereja mempunyai tanggung jawab politik dalam arti turut serta aktif di dalam mengupayakan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia dengan memperjuangkan keseimbangan antara kekuasaan (power), keadilan (justice), dan kasih (love). Orang Kristen terpanggil untuk membangun kesejahteraan di mana mereka berada karena kesejahteraan mereka adalah kesejahteraan kita, menjadi kesejahteraan bersama (Yeremia 29 : 7)".

Dari rumusan ini jelas bahwa politik yang dimaksudkan oleh gereja adalah kemampuan untuk hidup bersama di dalam polis (boleh dibaca: negara, bangsa, masyarakat). Sebagai bagian integral dari masyarakat yang di dalamnya orang-orang Kristen hidup, mereka tidak bisa dan tidak boleh mengisolasi dirinya sendiri. Mereka tidak boleh masuk ke dalam ghetto.

Dalam Roma 13, yaitu bagian surat yang dikirimkan oleh Rasul Paulus kepada sebuah jemaat Kristen yang kecil dan terkesan termarginalisasi di Kota Roma, dengan jelas kita membaca bagaimana mestinya seorang Kristen hidup di dalam masyarakat. Mereka harus taat kepada pemerintah yang di atasnya, yang memegang pedang untuk menegakkan keadilan.

Namun, ketaatan itu bukanlah sesuatu yang buta. Ketaatan itu adalah ketaatan kritis. Di sinilah suara nabi gereja diberi peluang untuk diperdengarkan apabila negara dan pejabat-pejabatnya menyimpang dari tujuannya, yaitu menyejahterakan semua orang dan menegakkan keadilan.

Pada pihak lain, ada kenyataan lain di hadapan kita, yaitu masyarakat/negara harus dikelola. Untuk mengelolanya dibutuhkan kekuasaan. Tak dapat tidak, kekuasaan harus diusahakan yang pencapaiannya dilakukan melalui partai-partai politik. Atau bisa juga secara perseorangan apabila yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat.

Warga gereja (yang berminat) dipanggil atau bahkan didorong untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan "politik praktis" ini entah melalui partai-partai politik atau melalui saluran-saluran lain yang diizinkan oleh undang-undang.

Mereka yang ingin melibatkan diri dalam politik praktis mesti mempunyai prinsip-prinsip bagi keterlibatan itu. Kalau tidak, mereka akan "terjun bebas" saja. Jelas hal itu tidak menguntungkan, sebab dengan mudah mereka diombang-ambingkan oleh gonjang-ganjing itu.

Prinsip-prinsip itu, pertama, kesadaran yang terus-menerus bahwa kekuasaan yang diperoleh adalah kekuasaan yang melayani, bukan kekuasaan demi kekuasaan. Ini tentu saja sangat ideal, dan dalam benak banyak orang dengan segera timbul rasa skeptis. Namun, harus selalu diusahakan.

Kedua, yang diperjuangkan melalui kekuasaan itu adalah kesejahteraan bersama. Bukan hanya kesejahteraan diri dan/atau kelompok, yang pada akhirnya akan menimbulkan salah paham. Tentu kesejahteraan yang dimaksud adalah yang dibarengi dengan keadilan. Ukurannya, apakah mereka yang paling lemah dan "kecil" di dalam masyarakat telah memperoleh kebutuhannya?

Ketiga, di dalam menyelenggarakan kekuasaan, mestinya etika dan moral kekuasaan dikedepankan. Dokumen PTPB merumuskannya dengan kalimat menyeimbangkan kekuasaan, keadilan, dan kasih. Kuasa tanpa keadilan adalah sewenang-wenang.

Keadilan tanpa kekuasaan hanya akan tinggal ide, dan karena itu tidak mungkin tercapai. Kasih adalah etika dasar yang mengarahkan kekuasaan. Maka kekuasaan yang diarahkan oleh kasih tidak mungkin mengarah kepada kepentingan diri sendiri (self oriented). Sebaliknya, kekuasaan macam itu akan selalu mengarah kepada kesejahteraan bersama. Tetapi, kasih tanpa kekuasaan menjadi sesuatu yang cengeng.

Keempat, dengarkanlah selalu suara hati yang benar. Kompromi-kompromi politik mungkin tidak terhindarkan, tetapi ada batasnya. Kalau kompromi-kompromi itu telah menyentuh hal-hal paling prinsip di dalam iman Kristen, maka "adalah lebih baik taat kepada Allah ketimbang kepada manusia." (Kis.5:29).

Berhak Ikut

Apa yang dipaparkan ini mungkin lebih mengena bagi mereka yang ingin menduduki jabatan-jabatan penting di dalam negara, semisal, anggota DPR, gubernu, bupati, dan sebagainya. Tetapi, dapat juga berlaku bagi setiap warga gereja yang keterlibatan politiknya diwujudkan melalui pemilu dan pengawasan tidak langsung melalui kehidupan bersama.

Tentang pemilu itu sendiri kita berhak untuk ikut. Tetapi, kalau kita merasa aspirasi kita sama sekali tidak terwakili, maka dapat saja kita tidak memakai hak itu. Tidak memakai hak pun adalah pilihan politik yang harus dihormati.

Pihak gereja diharapkan melakukan pendampingan pastoral bagi setiap warganya yang terlibat di dalam politik praktis. Mereka tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri. Gereja tidak boleh hanya mencela warganya yang terlibat politik, tetapi tidak pernah memahami secara persis apa yang diperjuangkan warganya itu.

Dengan demikian, gereja benar-benar secara bertanggung jawab melibatkan diri dalam persoalan- persoalan menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan.


Penulis adalah Ketua Umum PGI

http://www.suarapem baruan.com/ News/2008/ 07/04/index. html
Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment