My Mind
Terkadang, kita menganggap remeh adanya suatu ungkapan baik yang disampaikan orang lain kepada kita, hanya karena kita tidak mengenal dengan baik pribadi dari orang lain yang menyampaikan ungkapan baik tersebut.

Padahal, pada saat yang bersamaan, kita sendiri lupa dan tidak menyadari, bahwasanya pembentukan tingginya kualitas diri seseorang, dapat pula diperoleh dengan cara mendengarkan atau mengikuti nasehat, saran masukan atau pendapat orang lain.

Dalam situasi dan kondisi tertentu, penerimaan kita atas pendapat orang lain, terkadang berlebih-lebihan. Kita seakan-akan telah menjadi manusia yang superior dalam hidup ini. Padahal, ketika hal itu kita lakukan, kita hanyalah seseorang yang sedang membangun imajinasi yang menyenangkan diri sendiri, yaitu imajinasi yang mengatakan bahwa kemampuan kita adalah yang terbaik dari yang baik. Kita sedang "menyempitkan" makna keberadaan orang-orang pintar lainnya.

Itu bisa terjadi karena terkadang kita lupa kalau : diatas langit, masih ada langit... diantara deretan orang pintar, pasti ada yang lebih pintar lagi...

Terjebak di alur pikiran sendiri, merupakan ungkapan yang cocok diletakkan pada orang-orang yang suka membangga-banggakan kepintaran diri mereka sendiri, hanya karena mereka telah memiliki sejumlah gelar kesarjanaan.

Kepintaran dan kemampuan diri seseorang, sering kali hanya dipandang dari ada atau tidaknya gelar kesarjanaan yang dimiliki seseorang, atau seberapa banyak gelar kesarjanaan yang telah berhasil diraih seseorang dari bangku perkuliahan.

Cara pandang seperti itu, langsung atau tidak langsung, telah menempatkan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan ekonomi berlebih, untuk bisa membayar uang kuliah agar bisa meraih gelar-gelar kesarjanaan sehingga dapat pula merasakan "dipandang" orang lain.

Harus diakui, semakin banyak gelar kesarjanaan dimiliki seseorang, akan semakin heboh orang lain memberikan penilaian bahwa seseorang itu adalah seorang yang pintar, bahkan sangat pintar. Padahal, penilaian seperti itu tidak dapat diberlakukan begitu saja, karena memang, kepintaran dan kemampuan setiap orang itu, ada batasnya atau tidak mencakup seluruh bidang kehidupan.

Normatif sajalah, karena seseorang memang terlihat pintar bukan dilihat dari gelar-gelar kesarjanaan yang berderet di depan atau di belakang namanya. Semakin panjang gelar kesarjanaan yang kita miliki, bukan berarti kita adalah "tuhan" yang maha tahu segalanya.

Untuk menghindari agar pola pemikiran naif dan terlalu norak itu berkembang sebagai cara pandang umum yang berlaku di masyarakat, ada baiknya kita yang pintar-pintar tidak menjadikan deretan gelar kesarjanaan sebagai patokan dalam menilai pintar atau tidaknya seseorangi, sebab gelar kesarjanaan bukanlah sebuah pertanda kalau seseorang itu benar-benar pintar.

Pandangan seperti itu tidaklah mendidik dan tidak membuat orang lain (khususnya yang tidak mampu secara ekonomi untuk membayar uang kuliah) agar terpacu untuk terus menambah isi otaknya dengan berbagai pengetahuan, tanpa harus melalui bangku kuliah.

Lulus dari bangku kuliah memang tidak mudah. Apalagi kalau dilakukan dalam tenggang waktu yang lebih cepat dari yang lainnya. Tapi semua orang yang kuliah itu, mengalami hal yang sama, tapi tidak semuanya dianggap pintar.

Dan, belum tentu seseorang yang dianggap tidak pintar, benar-benar tidak pintar (seperti halnya Albert Einstein), sebab bisa saja seseorang itu tergolong manusia yang low profile, sehingga kepintarannya tidak terlalu menonjol atau tidak ditonjolkan di muka umum.

Banyak orang-orang sukses atau pemimpin masyarakat, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, yang mendapatkan gelar kesarjanaan tingkat doktoral dari civitas akademika, karena mereka mengakui bahwa orang-orang sukses atau pemimpin masyarakat itu, adalah tokoh-tokoh yang diakui tingkat kepintarannya, dan kiranya layak mendapatkan yang terbaik, meskipun orang-orang sukses atau pemimpin masyarakat itu, belum pernah menikmati bangku kuliah sebelumnya.

Jadi, sebelum kita jauh bersikap untuk "mengagung-agungkan" kepintaran kita hanya karena kita memiliki gelar kesarjanaan yang berderet-deret, berpikirlah sejenak, tahan dirilah, sebab belum tentu individu atau komunitas masyarakat yang kita temui pada saat kita mengapresiasikan kesombongan diri kita itu, adalah individu atau komunitas masyarakat yang memang benar-benar tidak pintar.

Bahasa sederhananya : Hati-hati dalam bicara, segera tekap mulut kita ketika kesombongan akan terucapkan dari mulut kita...

Cobalah untuk membiasakan diri untuk tidak berjalan dengan dagu selalu terangkat keatas. Jangan pula membiasakan diri untuk mudah membuat anggapan bahwa orang lain itu tidak sepintar diri kita hanya karena kita "mengkoleksi" begitu banyak gelar kesarjanaan. Kalau itu kita lakukan, itu sama artinya kita sedang berada di dunia mimpi khayalan kita.

Kesombongan diri tidak akan membuat kita terlihat pintar, tapi justru akan membuat diri kita terlihat bodoh...


.Sarlen Julfree Manurung
Labels: | edit post
7 Responses
  1. ira sinaga Says:

    pengakuan nih bang... :P


  2. Christine . Says:

    kepintaran bukan dilihat dari gelar atau pendidikkan, tetapinya kebijaksanaan..


  3. Dimas Boedi Says:

    Nice article. Sangat membangun Mr. Sarlen.


  4. ya nggaklah... gelar akademis aku cuma satu, gak berderet-deret, jadi bukan aku orang yang aku maksudkan dalam tulisan aku ini. Lagian masak aku mempermalukan diri aku sendiri sih, Ra, ya gak mungkin lahhhhh...




  5. setujuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu
    temanku ada yg S2 sekarang
    leletnya minta ampun
    dah gitu jugulnya minta ampun.............. duhhh capek bgt kl ngemeng ma dia
    dia sll melihat taraf pendidikan dia dengan kita kita


Post a Comment