My Mind
Memaksakan kehendak, itulah kondisi yang dihadirkan oleh para anggota Pansus dan Panja DPR RUU Pornografi, terkait dengan upaya pengesahan RUU tersebut menjadi UU Anti Pornografi, pada sidang paripurna DPR RI, kemarin.

Banyak pihak menilai, RUU Pornografi masih belum memenuhi syarat untuk segera disahkan sebagai UU, karena sejumlah pasal dalam RUU Pornografi, masih rancu dalam hal pengertian, definisi, dan bagaimana peran serta masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menjalankan amanat yang terkandung pada RUU Pornografi.

Kenyataannya, aturan-aturan hukum yang terdapat dalam isi draft RUU tersebut, memiliki kesamaan konsepsi pemikiran dan ketentuan penerapan aturan hukum, seperti yang tercantum dalam KUHP atau aturan perundang-undangan lain yang telah berlaku di Indonesia selama ini.

Didalam draft RUU Pornografi, ternyata tidak dicantumkan hal-hal apa saja yang termasuk dalam materi seksualitas, padahal dengan jelas dinyatakan kalau RUU ini merupakan RUU yang ditujukan untuk memberangus industri pornografi dan menutup setiap celah yang memungkinkan pornografi berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Anggota Pansus dan Panja DPR RUU Pornografi mengatakan, bahwa RUU ini bertujuan untuk melindungi kaum perempuan dan anak-anak dari adanya upaya penjerumusan mereka kedalam industri pornografi. Padahal didalam RUU tersebut tidak tercantum kejahatan terkait dengan seksualitas yang termasuk dalam perbuatan pelanggaran hukum, yaitu perbuatan yang menempatkan kaum kaum perempuan serta anak-anak sebagai korban kejahatan seksual, atau dijerumuskan kedalam industri pornografi.

Hal lain yang membuat RUU Pornografi belum layak untuk disahkan sebagai UU, sejumlah pasal dalam RUU Pornografi tersebut, dipaparkan dengan konsep berpikir multi tafsir.

Dalam hal ini, cara berpikir yang bersifat multi tafsir, belum memberikan suatu pola pengertian tepat, sehingga dapat menghadirkan perilaku radikal dari sejumlah elemen masyarakat, dan akhirnya, apabila tidak disikapi dengan bijaksana, dapat menimbulkan konflik horisontal di tengah-tengah masyarakat.   

Sejumlah pasal dalam RUU Pornografi tersebut, telah memberikan suatu model pencitraan yang tidak tepat dan dapat disalah-artikan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat, yang menganggap diri mereka berhak untuk menghadirkan pengadilan rakyat terhadap kegiatan publik yang dinilai mempertontonkan sesuatu yang berbau pornografi.

Salah satu pasal bahkan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bertindak sebagai "polisi moral" apabila mereka melihat adanya upaya-upaya untuk menghadirkan
kegiatan yang mengandung unsur pornografi, hanya berdasarkan pengamatan dan
pandangan mereka semata.

Hal ini memungkinkan terjadi karena isi pasal tersebut membuka pintu kesempatan pada elemen masyarakat untuk bertindak sendiri, dengan mengatasnamakan diri sebagai sebuah upaya untuk melindungi moral masyarakat.

Pada sisi yang lain, proses pengambilan keputusan dalam mensahkan RUU Pornografi
menjadi UU Anti Pornografi, tidak demokratis dan penuh dengan upaya-upaya berjenjang untuk memasukkan konsep homogenisme kedalam dinamika kehidupan masyarakat plural, yang selama ini telah berkembang baik di Indonesia.    

Adanya penolakan sikap yang disampaikan oleh Fraksi PDI-P dan Fraksi Partai Damai
Sejahtera DPR RI, disikapi dengan sikap dingin oleh Fraksi-fraksi lainnya. Sikap yang ditunjukkan oleh Fraksi-fraksi lain di DPR tersebut, jelas, telah menciderai kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

Padahal, setiap anggota fraksi, mewakili ratusan ribu anggota masyarakat pemilih. Jumlah mereka masih ditambah dengan jutaan anggota masyarakat pada 6 propinsi (Bali, Sulawesi Utara, Yogyakarta, NTT, Maluku, Papua) yang juga menyatakan penolakan atas RUU Pornografi untuk disahkan sebagai UU.

Tidak hanya itu saja. Ada jutaan masyarakat seni dan budayawan, serta jutaan anggota masyarakat lain, yang menolak keberadaan RUU Pornografi untuk dijadikan bagian dalam UU di negara kita. Alasannya, RUU Pornografi merampas dan membatasi daya kreasi serta kreatifitas para seniman untuk berkarya.

Sejumlah besar anggota masyarakat juga berpendapat kalau RUU Pornografi mengarah pada adanya upaya sistematis untuk menerapkan prinsip-prinsip homogenisme, dengan jalan memasukkan syariat Islam kedalam aturan hukum yang berlaku di Indonesia.

Ketika RUU Pornografi masih memiliki banyak kekurangan dan perlu dilakukan perbaikan atas isi atau substansi yang ingin diatur, ego kelompok yang melekat dalam diri sejumlah anggota DPR kita, justru tetap memilih berjalan sesuai keinginan mereka.

Atas sikap mereka itu, salah seorang anggota DPR yang sedang diwawancarai suatu stasiun televisi mengatakan bahwa "masyarakat diluar sana" sudah sangat menghendaki agar RUU Pornografi segera disahkan menjadi UU Anti Pornografi.

Jelas, bunyi pernyataan anggota DPR tersebut, merupakan sebuah pernyataan yang tidak ingin mendengarkan suara-suara rakyat yang menentang keberadaan RUU Pornografi untuk disahkan sebagai UU sebelum RUU tersebut mengalami revisi besar-besaran dan dibuat dengan pemaknaan yang tepat serta sesuai dengan judul UU Pornografi.

Entah sampai kapan, anggota DPR kita akan bersikap demikian. Cara-cara tidak demokratis akan selalu terulang, dimana perbedaan pendapat atau cara pandang, tidak disikapi dengan bijaksana.

Cara-cara yang tidak mengilhami bangsa ini untuk selalu saling menghargai satu dengan yang lainnya, dan bukan didasarkan pada suara mayoritas, tapi karena ada keinginan agar setiap UU yang mereka buat, membawa kebaikkan bagi seluruh elemen masyarakat.

Semoga saja, setelah RUU Pornografi disahkan menjadi UU Pornografi, tidak ada tindakan radikal dan destruktif yang dilakukan oleh suatu elemen masyarakat, dimana mereka bertindak dengan mengatas-namakan penegakan hukum atau menjunjung tinggi moralitas, sebab, belum tentu mereka yang menganggap diri mereka bermoral, benar-benar bermoral baik. Semoga saja.


.Sarlen Julfree Manurung
Labels: | edit post
4 Responses
  1. dewi hadin Says:

    Semoga. Tapi saya yakin, UU ini akan berakhir seperti UU anti rokok.


  2. Setiap peraturan perundang-undangan yang menimbulkan pergolakan ditengah masyarakat, sebaiknya dibatalkan atau harus direvisi.


  3. a lie Says:

    ya semoga saja.... krn kalo dilihat dr isi2 pasal2nya, bukannya mau melindungi perempuan , malah perempuan yg nantinya akan jd korban.Dan, yg ditakutkan byk org2 yg merasa dirinya bermoral dan berhak mengadili org lain.Sptnya anggota DPR kita ndak mendengar suara rakyat banyak, dan sptnya mereka punya agenda sendiri dari disahkannya RUU APP itu.



Post a Comment