My Mind

RUU Pornografi, Kacau Substansi dan Tidak Demokrasi

Semenjak namanya masih Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), RUU Pornografi sudah penuh dengan kontroversi.

Berbagai pertentangan sikap ditunjukkan, tidak hanya disampaikan oleh tokoh-tokoh masyarakat, para seniman dan elemen masyarakat lainnya, namun juga dari sesama anggota pansus DPR RUU Pornografi, yang menganggap upaya keras yang dilakukan sesama rekan mereka dalam meloloskan RUU ini menjadi UU Anti Pornografi, tidak transparan, penuh tindakan konspirasi, serta tidak demokratis.

Kontroversi memang sudah mengemuka semenjak awal. Sejumlah pihak menganggap kalau proses perumusan RUU Pornografi ini, telah menyalahi aturan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Undang-Undang.

RUU Pornografi yang perumusan dan pembahasannya dilakukan oleh anggota panita khusus (pansus) serta panitia kerja (panja) DPR RUU Pornografi, tidak menyertakan partisipasi masyarakat luas dalam perumusan serta pembahasannya.

Selain itu, segenap rapat pembahasan RUU ini, dilakukan secara tertutup serta sering kali tidak mencapai batas kehadiran kuorum dari para anggota pansus dan panja.

Dalam hal ini, ketika konsepsi awal pembuatan sebuah UU sudah tidak sesuai dengan aturan hukum yang mengatur tentang proses lahirnya suatu UU, maka RUU tersebut tidak layak untuk dipaksakan agar menjadi UU karena sudah cacat hukum.

Selain itu, didalam draft RUU tersebut, banyak hal-hal yang tidak memiliki kejelasan misi, visi, wawasan dan juga konsepsi, karena secara keseluruhan, isi RUU Pornografi ini masih memiliki banyak kekurangan serta tidak lengkap.

Contohnya, draft RUU ini tidak dijabarkan dengan jelas dan tepat, apa dan bagaimana pengertian atau definisi dari pornografi.

Apabila pengertian atau definisi dari pornografi sebagai dasar pemikiran yang ingin melandasi seluruh uraian dari draft RUU masih belum jelas dan belum bisa dijabarkan dengan tepat, normatifnya, draft RUU Pornografi ini masih harus mengalami proses perumusan ulang, karena memang belum memiliki kejelasan konsepsi.

Didalam draft RUU Pornografi ini juga tidak disebutkan hal-hal apa sajakah yang bisa disebut sebagai bagian dari produk atau materi yang mengandung unsur seksualitas. Padahal, RUU ini mengambil thema pornografi sebagai pokok bahasan utama yang akan dikembangkan sebagai produk aturan hukum negara.

Hal ini menyebabkan uraian dari beberapa pasal dalam draft RUU tersebut, cenderung berisikan pokok-pokok pemikiran yang bersifat multi tafsir, terlihat rancu, berkesan dipaksakan dan tidak dinyatakan secara konsisten.

Artinya, perumusan dan pembahasan draft RUU Pornografi ini, belum melalui suatu proses pengkajian yang lengkap, akan tetapi hanya didasari oleh cara pandang sempit dan ekspetasi pemikiran terbatas dari para anggota pansus DPR semata.

Cara pengambilan keputusan seperti ini, jelas, tidak memenuhi rasa keadilan dan tidak memenuhi prinsip-prinsip demokratis.

Oleh karena itu bisa dikatakan kalau substansi dan dasar pemikiran yang ingin dipakai serta dikembangkan didalam RUU Pornografi ini, tidak menghadirkan suatu cerminan produk hukum yang mengilhami adanya tindakan untuk menghapus social problems terkait dengan dunia pornografi karena segenap aspirasi yang dijabarkan didalamnya, tidak seluruhnya menginspirasi upaya menghapus social problems tersebut.

RUU Pornografi juga dipenuhi oleh pola pemikiran pemaksaan kehendak. Salah satu contohnya, ada bagian dalam pasal-pasal draft RUU Pornografi, bersifat diskriminatif terhadap posisi harkat dan martabat kaum perempuan.

Pembatasan ruang gerak manusia dengan dalih dan dalil apapun, sama artinya, upaya atau tindakan tersebut telah merampas atau mengambil hak asasi manusia yang telah diberikan Tuhan pada setiap insan manusia. Padahal, tidak terjadi tindak pelanggaran hukum yang memang memungkinkan seseorang bisa kehilangan sebagian haknya.

Siapakah diri kita sehingga berani menghadirkan anggapan dan bertindak kalau kita berhak untuk mengambil apa yang telah diberikan Tuhan kepada seseorang?

Industri kreatif yang lekat hubungannya dengan kehidupan para seniman, ruang gerak kebebasan dalam berkreasi, ingin dibatasi dengan menghadirkan pasal kontroversial, karena  yang memiliki pola pemikiran bersifat multi tafsir.    

Adanya keberagaman komunitas masyarakat atau kehidupan masyarakat yang plural, melalui RUU Pornografi ini, ingin diarahkan kepada pola kehidupan masyarakat yang bersifat homogenisme, yaitu dengan cara menyeragamkan segenap sendi-sendi yang selama ini berlaku umum di masyarakat berdasarkan pola pencitraan yang dihadirkan menurut identitas kultural atau aliran kepercayaan tertentu.

Padahal, bangsa Indonesia sudah menjalani hidup sebagai komunitas masyarakat yang plural, jauh sebelum negara ini meraih kemerdekaan.

Aroma kontroversi semakin merebak ketika diketahui draft RUU Pornografi ini, ingin pula mengatur atau membatasi ranah privasi dari setiap anggota masyarakat. yang ingin bisa melakukan aktivitas seksual legal, namun tidak mengeksposenya ke publik.

Ketika ranah privasi ingin diatur ke dalam produk hukum, ada kesan kalau pada saat ini pemerintah kita sedang kurang kerjaan, sehingga dirasakan perlu dibuatkan suatu peraturan perundang-undangan yang ingin membuka lapangan pekerjaan baru, bagi sejumlah oknum aparat pemerintah yang selama ini terkenal "kurang kerjaan" untuk membatasi ruang gerak privasi masyrakat.

Banyaknya hal-hal yang masih bersifat rancu dan belum memiliki kejelasan konsepsi, membuat draft RUU Pornografi mendapatkan banyak kritikan, protes dan penolakan, tidak hanya oleh sejumlah tokoh masyarakat serta para pekerja seni, akan tetapi juga dilakukan oleh elemen masyarakat tingkat propinsi.

Memperhatikan uraian diatas, RUU ini memang tidak layak untuk disahkan menjadi aturan hukum yang sifatnya mengikat seluruh rakyat Indonesia, karena masih banyak yang diuraikan dengan jelas dan benar, masih cacat hukum, isinya menyesatkan, tidak demokratis, sarat dengan konspirasi, serta tidak melibatkan partisipasi masyarakat.

Segenap kritikan, protes, serta sikap penolakan, adalah wajar apabila dilontarkan pada para anggota pansus atau anggota panja DPR, karena masyarakat tidak ditempatkan sebagai subyek dan obyek yang patut dilindungi namun semakin dikekang kebebasan ruang gerak berekspresi serta kemajuan hidup budaya baiknya.

Demokrasi tidak dilaksanakan karena adanya sikap arogan yang ditunjukkan sejumlah besar anggota pansus dan panja DPR RUU Pornografi, dimana mereka tidak bersedia menanggapi kritikan, protes, serta penolakan masyarakat, karena menganggap kendali kuasa membuat UU yang ada pada mereka, tidak dapat diganggu-gugat.

Aneh rasanya kalau para anggota pansus dan panja DPR, baru melibatkan partisipasi anggota masyarakat, ketika mereka ingin mensosialisasikan isi draft RUU Pornografi, sebelum RUU tersebut akan disahkan sebagai UU.

Mundurnya sejumlah anggota DPR dari keanggotaan pansus serta panja DPR setelah tekanan politik yang dihadirkan masyarakat semakin meninggi, dan semakin kuatnya sikap arogan serta sikap keras kepala yang ditunjukkan sejumlah besar anggota DPR itu untuk tidak mendengarkan suara rakyat, patut dihargai. 

Pilihan untuk tidak terlibat konspirasi politik untuk menghianati hati nurani dan tidak mendengarkan suara kelompok minoritas yang bisa menghadirkan konflik horisontal di tengah masyarakat, adalah prinsip wakil rakyat yang memiliki integritas terpuji dan patut untuk di contoh oleh para wakil rakyat lainnya.

Disisihkannya prinsip musyawarah untuk memperoleh kata mufakat, yang digantikan dengan prinsip pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak, pada dasarnya telah menciderai kehidupan berdemokrasi di Indonesia dan adanya keragaman dalam kehidupan plural di tengah masyarakat, merupakan perilaku yang mendorong adanya eskalasi politik yang semakin meninggi.

Sikap yang ditunjukkan para anggota pansus DPR dengan tidak memberikan banyak kesempatan kepada masyarakat untuk mengkoreksi atau memprotes pasal-pasal dalam draft RUU yang dianggap tidak jelas, masih rancu, atau bersifat multi tafsir, memberi sinyal kuat kalau upaya untuk segera mensahkan RUU Pornografi menjadi UU Anti Pornografi, tidak murni bagian dari hati nurani anggota DPR itu sendiri.  

Tindakan ini menimbulkan tanda tanya besar didalam benak pikiran sejumlah tokoh masyarakat dan elemen masyarakat yang menentang draft RUU Pornografi, “Ada apakah dibalik upaya “ekstra” dari para anggota pansus DPR itu sesungguhnya?”

Ada dugaan serta sinyalemen kuat, kalau RUU Pornografi ini merupakan bagian dari adanya ambisi dan kepentingan tertentu dari suatu golongan atau kelompok didalam masyarakat, yang ingin memanfaatkan kekuatan serta kekuasaan politik yang ada di DPR, untuk membuat suatu aturan hukum dengan materi yang sesuai dengan ambisi, imajinasi, dan kepentingan dari golongan atau kelompok tersebut.

Hal ini bisa dilihat dari sikap arogan serta menutup telinga yang ditunjukkan oleh para anggota pansus dan panja DPR RUU Pornografi, dimana mereka berusaha untuk tidak memberikan banyak kesempatan kepada masyarakat luas untuk dapat mengkoreksi isi pasal-pasal yang dianggap tidak jelas, rancu, atau bersifat multi tafsir.

Masyarakat propinsi Bali, DI Yogyakarta, Papua, dan Sulawesi Utara, bahkan secara terbuka telah menyatakan penolakkan terhadap keberadaan RUU Pornografi hasil rumusan serta pembahasan anggota pansus dan panja DPR.

Jumlah mereka masih ditambah dengan sejumlah besar elemen masyarakat, para tokoh masyarakat, dan para pekerja seni, yang tidak secara langsung dan terbuka menyatakan sikap protes mereka.

Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, mewakili Pemerintah dan masyarakat propinsi Bali, bahkan telah menulis surat penolakan atas RUU Pornografi kepada Presiden serta Ketua DPR, yang telah dikirimkan pada tanggal 6 Oktober 2008 lalu.

Suara-suara kritis masyarakat yang memprotes, tidak setuju, dan menentang kehadiran draft RUU Pornografi, baru mendapatkan tanggapan ketika demonstrasi dan sejumlah opini publik yang menentang keberadaan draft RUU Pornografi, banyak ditanggapi tokoh masyarakat dan para pekerja seni, serta diekspose oleh media massa.

Adanya penilaian dari sejumlah anggota pansus dan panja DPR yang menyatakan, kalau pihak-pihak yang tidak menginginkan draft RUU Pornografi disahkan hanyalah sebagian kecil dari bagian anggota masyarakat, merupakan sebentuk sikap tidak mau tahu dengan suara-suarat kritis masyarakat yang keras menentang upaya "luar biasa" dari para anggota pansus dan panja DPR.

Nampaknya, para anggota pansus dan panja DPR, memang ingin mengarahkan proses mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak.

Cara mengambil keputusan yang dilandasi oleh prinsip musyawarah-mufakat, tidak diminati oleh para anggota pansus dan panja DPR RUU Pornografi.

Para anggota pansus dan panja DPR RUU Pornografi tersebut, nampaknya memang benar-benar ingin memanfaatkan besarnya kekuasaan yang ada pada mereka, untuk membuat aturan hukum yang sesuai dengan kehendak mereka semata, dan bukan untuk kepentingan serta kebaikkan masyarakat luas.

Banyak pihak yang menilai kalau nafsu besar dari sejumlah anggota pansus dan panja DPR untuk segera menetapkan RUU Pornografi menjadi UU Anti Pornografi, merupakan sebuah keinginan untuk melegalkan adanya cara pandang tertentu dalam melihat kesusilaan, sebagai konsepsi berpikir yang harus dipatuhi oleh seluruh elemen masyarakat.

Unsur-unsur bernuansa memaksakan kehendak, terasa begitu kental menaungi ruang berpikir para anggota pansus dan panja DPR dalam membahas RUU Pornografi ini, meskipun ada jutaan anggota masyarakat Indonesia yang menilai serta menganggap, RUU Pornografi telah memposisiikan indahnya keberagaman komunitas masyarakat dan budaya yang sudah lama terbentuk, pada lembah kehancuran.

Tidaklah salah kalau kemudian dikatakan, sikap yang ditunjukkan oleh para anggota pansus dan panja DPR itu, semakin membuktikan kalau nuansa politik dan konspirasi, lebih mendominasi alam pemikiran para pembentuk RUU POrnografi, dibandingkan dengan besarnya keinginan untuk membangun negeri ini dengan mempersiapkan suatu aturan hukum yang bisa membuat bangsa Indonesia terbebas dari perangkap industri pornografi, pikiran kotor, dan moral bejat dari dalam anggota masyarakat kita.

Sejumlah pasal dalam draft RUU POrnografi yang mengandung makna multi tafsir, memang mengandung cara berpikir orang-orang yang "sengaja melupakan" ataupun "sengaja menutup mata" akan adanya keberagaman karakter pada pribadi atau individu masyarakat Indonesia, yang melingkupi pula keragaman kekayaan warisan seni dan budaya daerah.

Terlihat jelas pula kalau ada pemikiran untuk tidak mengakui keberadaan masyarakat Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, yang terangkum dalam kehidupan plural dan multi kultural, dalam satu konteks lingkup kehidupan masyarakat yang satu dalam kemajemukkan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Cerminan hidup plural dan majemuk dalam masyarakat Indonesia, telah membentuk persatuan dan kesatuan seluruh anggota masyarakat dari Sabang sampai Merauke, namun kini ingin diganti dengan menghadirkan pola hidup homogenisme, yang tertuang dalam RUU Pornografi.

Apakah sesuatu yang sudah baik itu harus dirusak hanya karena adanya ambisi dan kepentingan dari suatu golongan atau kelompok tertentu yang menginginkan ambisi serta kepentingannya itu dituruti oleh seluruh rakyat Indonesia?

Hidup sebagai komunitas masyarakat yang plural dengan keragaman seni dan budaya didalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebaiknya tidak diganggu oleh adanya keinginan ekspresif yang tidak membangun suatu kultur masyarakat dengan keragaman didalamnya.

Upaya memaksakan kehendak untuk segera mensahkan RUU Pornografi, justru membahayakan kesatuan yang sudah ada dan selama ini menjadi bagian dari masyarakat Indonesia.

Tanpa melalui proses perbaikan, dengan menyertakan partisipasi masyarakat dan elemen masyarakat seni, yang dijabarkan ke dalam pasal-pasal dengan konsep pemikiran yang benar, konsisten serta tidak multi tafsir, dengan kejelasan atas pengertian atau definisi, lalu dilengkapi dengan produk atau materi yang mengandung unsur pornografi, tidaklah mustahil RUU Pornografi dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat. 

Labels: | edit post
3 Responses
  1. John VR Says:

    Cenderung berat ke salah satu agama sih,RUU ini..lebih tepat berusaha memasukkan unsur agama ke dalam tatanan negara


  2. Ada apa di balik itu semuanya. "Tidak ada yang tersembunyi yang tidak akan terungkapkan...?


  3. Doakan saja, segala yang tersembunyi akan terungkapkan, dan mereka lagi-lagi membataskan niat untuk mensahkan RUU Pornografi menjadi UU Anti Pornografi, sama seperti RUU APP yang lalu.


Post a Comment