My Mind

RUU Pornografi, Melukai Hati Perempuan

 

Dalam Injil, Kitab Suci pemeluk agama Kristen, ada tertulis sebuah ketentuan Tuhan yang menyebutkan, kalau Tuhan menciptakan perempuan sebagai seorang penolong yang sepadang bagi laki-laki.

Adapun isi Firman Tuhan didalam Injil yang menuliskan tentang ketentuan Tuhan tersebut, dapat dilihat dalam kitab Kejadian 2 : 8 – 13.

Konsepsi pernyataan yang cenderung sama, meskipun dibahasakan dengan kalimat atau kata-kata yang berbeda, juga dikemukakan dan bisa ditemukan dalam Kitab Suci atau prinsip pengajaran agama-agama lain.

Itu artinya, berbagai prinsip keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diakui di Indonesia, juga mengakomodasikan adanya ketentuan Tuhan yang menyatakan, kalau posisi, harkat dan martabat perempuan di mata Tuhan, adalah setara atau sama dengan laki-laki. Manusia yang beriman kepada Tuhan, seharusnya menjalani adanya suatu ketetapan Tuhan tersebut.

Selain itu, seseorang yang beriman tidak akan berusaha untuk menghadirkan adanya suatu identitas atau pola pemikiran baru yang didasari oleh adanya pandangan sempit dan ingin menafsirkan sebagian atau seluruh bagian dari isi Firman Tuhan sekehendak hatinya, karena dirinya tahu kalau segenap ketentuan Tuhan, berlaku secara universal.

Manusia yang beriman kepada Tuhan, tidak akan mencoba untuk menciptakan suatu definisi baru tentang kesepadanan kaum perempuan dengan kaum laki-laki, apabila tidak mengambil hikmah atau landasan pemikiran yang diambil dari ketentuan Tuhan, dengan dalil, dalih, atau maksud tertentu, selain mencari kebenaran serta menjalankan prinsip iman yang benar. 

Namun nampaknya, tindakan yang kurang mengindahkan ketentuan Tuhan tentang kesepadanan antara perempuan dengan laki-laki tersebut, sedang berlangsung di DPR. Sebuah tindakan yang melecehkan atau mencoba menggugat ketentuan Tuhan.

Sejumlah anggota panitia khusus (pansus) DPR, pada saat ini sedang berusaha untuk bisa meloloskan RUU Pornografi yang mereka rumuskan dan pada saat ini sedang mereka bahas, yaitu sebuah RUU yang disusun dengan tidak melibatkan partisipasi anggota masyarakat, namun hanya sebatas konsep dari para akademisi.

Apabila membaca draft rumusannya, RUU Pornografi bertindak diskriminatif serta tidak menempatkan perempuan pada posisi dan derajat yang semestinya, seperti yang diisyaratkan Tuhan dalam ketentuanNya.

Para anggota Dewan yang terhormat, justru ingin menempatkan perempuan, sebagai obyek yang bisa disalahkan atas merosotnya moral sejumlah anggota masyarakat.  

Ruang gerak atau ruang berekspresi kaum perempuan, mereka nilai perlu dibatasi, karena payudara yang menonjol, paras wajah cantik, keindahan lekuk tubuh nan elok, serta aroma wangi tubuh perempuan, merupakan suatu medan magnet negatif, yang bisa memancing hasrat kaum laki-laki untuk bertindak amoral dan melakukan tindak kejahatan atas diri mereka.

Bentuk fisik kaum perempuan, merupakan maha karya Tuhan. Kesempurnaan maha karya Sang Pencipta, bukanlah kehendak perempuan, kalau mereka diciptakan dengan bentuk ragawi yang bisa memikat kaum laki-laki.

Gemulainya gerakan kaum perempuan, tidak akan mengundang hasrat bejat dan sikap amoral kaum laki-laki, apabila kaum laki-laki memegang serta menjalankan segenap prinsip keimanan dengan benar.

Secanggih apapun pengetahuan agama seseorang, tidak menjamin diri seseorang itu, tidak memiliki moral bejat serta menyalurkan nafsu birahi tak terkendalinya, karena nafsu birahi manusia, dikendalikan oleh pikirannya sendiri.

Apabila ingin tindakan melampiaskan nafsu birahi tidak muncul dalam benak pikiran seseorang, perlu dihadirkan suatu kesadaran diri kalau perbuatan menistakan makhluk ciptaan Tuhan itu adalah sebuah perbuatan dosa.

Oleh sebab itu, adanya payudara yang menonjol, adanya paras wajah cantik, adanya keindahan lekuk tubuh nan elok, dan adanya aroma wangi khas dari tubuh perempuan, merupakan sebuah karya sempurna, yang Tuhan ciptakan namun ingin disangkal serta diposisikan sebagai ranah sumber dosa, bukan berkah bagi kaum perempuan.

Sejumlah pasal dalam RUU Pornografi, membuat privasi perempuan akan tubuhnya, diatur oleh negara. Kondisi ini terlalu berlebih-lebihan karena sampai hal yang privasi pun, negara harus membuat aturan.

Jadi tidaklah salah kalau kemudian timbul sejumlah pertanyaan kritis : Apakah para pemimpin bangsa ini, memang sedang kurang kerjaan? Bukankah masih banyak hal lain yang perlu direncanakan, dipikirkan dan dilakukan para pemimpin bangsa untuk kemajuan bangsanya?

Apakah para anggota DPR memang sudah memiliki moral yang baik? Apakah pada saat ini, para perempuan di negeri ini memang sudah memiliki kecenderungan untuk menonjolkan ketelanjangan di depan publik?

Keduanya pertanyaan diatas dapat dijawab dengan satu kata : TIDAK.

Berbagai pikiran kotor kaum laki-laki untuk maksud melecehkan, menghinakan atau mengeksploitasi tubuh kaum perempuan, baik secara langsung ataupun dalam industri pornografi, merupakan suatu bentuk kejahatan yang menempatkan kaum perempuan pada lingkaran setan dosa atau penyebab dosa.

Tidak hanya sebatas itu saja. Adanya suatu bentuk tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), juga menempatkan posisi kaum perempuan pada cara pandang dan imajinasi masyarakat atas kehidupan kaum perempuan menjadi serba salah.

Oleh karena itu, perempuan seharusnya mendapatkan perlindungan hukum yang lebih membuat mereka dapat bergerak bebas serta hidup maju, tanpa harus dihinggapi oleh adanya rasa takut, bukannya menghadirkan sebuah produk hukum yang membuat alur hidup kaum perempuan, tidak lagi sepadan dan setara dengan laki-laki.
  
Para anggota pansus DPR yang sedang membahas RUU Pornografi, seharusnya dapat menciptakan rasa aman serta nyaman kepada kaum perempuan, dimana negara harus melindungi kedudukkan harkat dan martabat perempuan, bukan menempatkan kaum perempuan pada posisi setingkat dibawah kaum laki-laki.

Besarnya kekuasaan anggota DPR, seharusnya tidak digunakan untuk menghadirkan suatu produk hukum yang ingin mengekang kebebasan bergerak atau keinginan untuk hidup maju kaum perempuan, dimana RUU tersebut ingin melucuti sejumlah hak-hak dasar kaum perempuan, agar bisa hidup maju, menjadi pemimpin, dan yang tak kalah pentingnya, menjadi dirinya sendiri.

Itu sama artinya, DPR telah berencana untuk memaksa negara agar merampas seluruh atau sebagian kehidupan kaum perempuan.

Negara diberikan upaya paksa untuk dapat mencabut hak asasi kaum perempuan yang telah diberikan Tuhan, demi memuluskan pilihan sikap arogansi serta cara pandang sempit sejumlah anggota DPR.

Jadi, tidaklah salah kalau dikatakan : apabila anggota DPR terus memaksakan RUU Pornografi untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang, itu sama artinya para anggota DPR telah bersikap tidak adil kepada kaum perempuan, dimana mereka menempatkan perempuan sebagai elemen masyarakat yang tidak mampu meraih apa yang mereka inginkan secara bebas namun tidak melanggar hukum dan dilecehkan.

Upaya untuk mencegah perkembangan industri pornografi, janganlah diartikan kalau para anggota DPR, berhak untuk menempatkan kaum perempuan, bagaikan “burung dalam sangkar” dengan mengajukan alasan atau argumentasi pemikiran yang dibuat hanya berdasarkan pada suatu pandangan sempit yang dianut oleh sejumlah anggota DPR semata.

Para anggota DPR seharusnya tidak memanipulasi prinsip keimanan dan kepercayaan masyarakat, apalagi dengan cara menghadirkan sejumlah konsep-konsep pemikiran agamais yang penerapannya tidak benar, belum tepat, dan ingin disalah-artikan.

Dikatakan penerapannya tidak benar, belum tepat, dan ingin disalah-artikan, karena upaya untuk menutup segenap celah hukum yang bisa dipakai untuk mengembangkan atau menghidupkan industri pornografi, cenderung lebih mengarah pada penegakan hukum, seperti layaknya penegakan hukum terhadap para koruptor.

Konsepsi keagamaan, secara logika, lebih tepat apabila dipakai untuk memperbaiki moral seluruh elemen masyarakat yang sudah rusak serta tercemar oleh maraknya perkembangan industri pornografi di tengah masyarakat, dan memperteguh nilai-nilai moral setiap anggota masyarakat yang belum rusak serta tercemar industri pornografi.

Mengembangkan pengajaran kaidah-kaidah agama yang bisa memperkokoh kekuatan iman seseorang, memang lebih memilih makna dan tingkat efektifitas yang lebih baik apabila digunakan untuk memperbaiki moral.

Sedangkan upaya penegakan hukum terhadap para pelaku industri pornografi, akan menghadirkan efek jera, serta mencegah para pelaku industri pornografi dan anggota masyarakat lain untuk menjalani industri pornografi di wilayah hukum Indonesia.

Kenapa begitu? Karena terlihat jelas kalau konsep pemikiran legal yang ingin dipakai serta dikembangkan oleh para anggota DPR yang sedang membahas RUU Pornografi, adalah menghadirkan suatu aturan hukum yang bisa menghapus atau meminimalisir kehadiran pelaku industri pornografi, bukan membahas tentang mengamankan kondisi moral masyarakat.

Apabila RUU Pornografi nanti sudah disahkan sebagai UU Anti Pornografi, tetap saja tidak akan ada yang bisa memberikan jaminan politik atau sosio-kultural, kalau aturan hukum berbentuk UU Anti Pornografi akan mampu mendorong terciptanya anggota masyarakat (khususnya pada diri kaum laki-laki) yang tidak memiliki moral bejat atau tahu dosa, dimana mereka bisa menahan diri agar tidak mengekspresikan nafsu birahi mereka secara bebas dan tidak manusiawi dengan memanfaatkan kelemahan posisi kaum perempuan, karena takut pada ancaman hukuman yang ada dalam UU tersebut.

Tingkatkan kesejahteraan kaum perempuan, tempatkan mereka pada posisi harkat dan martabat yang sesuai dengan tingkat kesepadanan yang telah Tuhan tentukan atas diri mereka, agar mereka tidak menjadi obyek pelecehan seksual kaum laki-laki.

Labels: | edit post
6 Responses

  1. Lucia Tebe Says:

    ada lagunya pak, "itulah endonesyaaaaaa...."


  2. Si negara Timur tengah yang menerapkan syariat Islam,dimana seluruh tubuh wanita harus tertutup bagi yang bukan keluarga, bahkan harus pakai pakaian warna hitam, sehingga tidak mungkin tercipta sekelebat bayangan karena cahaya, tetap moralitasnya tidak lebih baik dari negara lain yang tidak menerapkan syariat Islam. Jadi undang-undang tidak menjamin moralitas anak bangsa menjadi lebih baik. Pembinaan yang intens dengan dibarengi moralitas yang tinggi yang akan membentuk moralitas yang baik. Orang Kristen di abad pertama, sangat disukai orang banyak karena moralitas mereka, pada hal moralitas masyarakat pada waktu itu amburadul. Kita tidak butuh UU Pornografi.


  3. nanda yun Says:

    Pembinaan yang intens dengan dibarengi moralitas yang tinggi yang akan membentuk moralitas yang baik, bukan dengan mengeluarkan UU Pronografi, malahan dengan dikeluarkannya UU tersebut akibat buruknya akan semakin menjadi-jadi karena pada hakekatnya manusia itu semakin dilarang semakin suka melanggar larangan itu sendiri...... saya setuju sekali dengan bro. Patiaraja Kita tidak butuh UU Pornografi !!!! , TFS bro Sarlen...GBU


  4. Kalau gitu tak ada lagi dong berita TKW dibantai ramai-ramai karena dianggap semacam "budak" modern yang sudah dibeli... Das Sollen is nich immer das Sein bung ! Utopis boleh boleh saja tetapi di menara gading saja.. kalau di kelapa gading kudu nginjek bumi... dan nginjek air kalo lagi musim banjir...


  5. Moralitas tidak pernah bisa menjadi akibat derivatif dari suatu Undang-Undang... bahkan tidak oleh 10 Perintah Allah... apalagi kalo cuma UU buatan manusia ! Moralitas selalu hampir pasti menjadi lebih baik bila ada peneladanan dari orang tua tentang nilai nilai kemurnian yang diadopsi mereka sendiri juga... dan bukan cuma omdo...
    Khotbah boleh berapi-api soal kemurnian tetapi kalau peneladanan pribadi nihil... maka namanya menggantang asap... sorry to day dah... "lebih indah kata dari teladan"... boro boro kalo cuma UU atau perda...


Post a Comment