My Mind
Pembelajaran dari Peristiwa Tragis di Gedung DPRD Sumatera Utara


Kehadiran massa demonstrasi di gedung DPRD Sumatera Utara untuk meminta agar para anggota DPRD Sumatera Utara mengagendakan pemekaran wilayah Sumatera Utara dalam agenda rapat paripurna DPRD Sumatera Utara pada hari Selasa (3/02/09) kemarin, seharusnya tidak perlu berakhir tragis, dengan meninggalnya Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat karena sakit jantung.

Tindak kekerasan mengemuka karena massa demonstrasi yang datang merasa, kalau kehadiran masyarakat untuk menyampaikan aspirasi masyarakat yang ada di sejumlah kabupaten di pesisir barat Sumatera Utara tersebut, tidak mendapatkan perhatian baik dari para anggota DPRD Sumatera Utara yang sedang melaksanakan rapat paripurna.

Para anggota DPRD Sumatera Utara yang sedang bersidang, memang terlihat tidak mencoba untuk menemui ribuan anggota masyarakat yang berdemonstrasi, padahal tanda-tanda adanya tindak kekerasan, telah terlihat diluar ruang sidang.

DPRD Sumatera Utara, sebagai lembaga yang seharusnya menjembatani segenap aspirasi yang muncul ditengah-tengah masyarakat Sumatera Utara, terlihat setengah hati untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat terkait dengan pemekaran wilayah Sumatera Utara.

Mereka seolah-olah menjalankan aksi tutup mulut dan mencoba untuk mengulur-ulur waktu untuk menyalurkan aspirasi masyarakat tersebut.

Besarnya aspirasi masyarakat di pesisir barat Sumatera Utara agar propinsi Tapanuli dapat diwujudkan, sesungguhnya telah lama menjadi wacana publik antara sejumlah besar elemen masyarakat dengan para politisi daerah yang ada di DPRD ataupun pemerintahan propinsi Sumatera Utara. Setidaknya, wacana tersebut telah menjadi agenda sidang di DPR.

Namun pembicaraan terkait pemekaran wilayah Sumatera Utara tersebut "terpaksa" diendapkan untuk sementara waktu, setelah keluarnya pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengisyaratkan agar pada tahun 2009 ini, terkait dengan wacana pemekaran wilayah yang menjadi keinginan banyak daerah di Indonesia, dihentikan (moratorium) karena pemilu sudah di depan mata.

Peristiwa aksi massa yang berakhir anarkis dan menyebabkan meninggalnya Ketua DPRD Sumatera Utara, membuat pemerintah serta para anggota Dewan bersepakat untuk menunda dan menghentikan tanpa batas waktu, segenap pembicaraan tentang pemekaran wilayah, baik di tingkat pusat maupun di daerah.

Banyak pihak serta tokoh-tokoh masyarakat Sumatera Utara meyakini, kalau budaya kekerasan, bukanlah bagian dari ciri pribadi masyarakat Sumatera Utara. Masyarakat Sumatera Utara memang merupakan masyarakat yang keras hati, namun mereka tidak suka mengakhiri suatu keadaan dengan kekerasan.

Tidak hanya masyarakat Sumatera Utara, seluruh elemen masyarakat yang turun ke jalan untuk berdemonstrasi tidak akan bertindak rusuh, apabila keberadaan serta suara mereka yang datang ke gedung parlemen atau di depan istana, didengarkan oleh para anggota Dewan dan pihak penguasa pemerintahan.

Apabila ditelaah lebih jauh, adanya pergerakan sejumlah masyarakat Sumatera Utara yang diikuti dengan tindakan kekerasan di gedung DPRD Sumatera Utara, tidak akan menghadirkan tindakan brutal dan anarkis apabila pihak penyelenggara pemerintahan daerah serta anggota DPRD Sumatera Utara, dapat mengembangkan konsepsi dialog dengan masyarakat.

Masyarakat Sumatera Utara yang berdemonstrasi tidak akan bertindak rusuh, apabila keberadaan serta suara mereka yang datang ke gedung DPRD Sumatera Utara pada saat itu, dihargai dan didengarkan oleh para anggota Dewan.

Peristiwa pendudukan dan perusakkan ruang sidang paripurna DPRD Sumatera Utara, yang menimbulkan korban meninggalnya Ketua DPRD Sumatera Utara, merupakan bagian dari ekspresi kecewa yang tidak lagi dapat ditahan, karena para wakil rakyat mereka lebih memilih bungkam dibandingkan berdialog dengan mereka.

Bisa dikatakan, sikap tidak tanggap para anggota DPRD Sumatera Utara pada saat itu, memiliki andil terjadinya tindak kekerasan dan anarkisme di gedung parlemen milik rakyat Sumatera Utara tersebut.

Negara seharusnya menempatkan masyarakat sebagai pihak yang perlu diayomi, dan DPRD, sebagai lembaga legislasi daerah, bisa mendorong agar aspirasi masyarakat yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, dapat tersalurkan dengan baik melalui upaya dialog.

Dialog dua arah antara elemen masyarakat yang menghendaki pembentukan propinsi Tapanuli dengan para anggota DPRD Sumatera Utara tidak dikembangkan sebagai sebuah budaya yang menjadi bagian kehidupan masyarakat.

Budaya dialog tersebut tidak berkembang karena masih kentalnya sikap arogansi para anggota Dewan untuk mau mendengarkan suara rakyat yang diwakilinya.
 
Masih kuatnya alam pemikiran didalam benak pikiran para anggota Dewan yang tidak mau terbuka kepada masyarakat yang diwakilinya, merupakan simbol penggunaan kekuasaan yang tidak memberikan model pembelajaran berpolitik yang baik kepada masyarakat karena tidak menempatkan seluruh masyarakat sebagai pihak yang harus mereka layani.

Kultur komunikasi politik searah dan tidak bersahabat dengan rakyat itulah yang pada akhirnya mendorong masyarakat bisa melakukan tindak kekerasan atau anarkis karena kecewa aspirasinya tidak mendapatkan perhatian wakil-wakil mereka di parlemen.

Secara moral, para anggota DPRD Sumatera Utara turut bersalah atas meninggalnya Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat karena tidak kuat menahan desakan dan upaya pemukulan yang dilontarkan oleh sejumlah peserta demonstrasi yang tidak bertanggung-jawab.

Pihak aparat keamanan, dalam hal ini Poltabes Medan, juga turut bertanggung-jawab secara moral karena gagal mengamankan atau melindungi pejabat publik negara yang diserang oleh massa.

Apabila melihat tayangan berita di televisi, terlihat jelas kalau Abdul Azis Angkat, yang sedang berada ditengah-tengah kepungan massa yang sedang emosional, kurang atau tidak terlindungi. Padahal posisi serta jabatan Abdul Azis Angkat adalah pejabat publik yang sedang memimpin suatu lembaga tinggi di daerah.

Pihak aparat kepolisian juga terlihat kurang cepat tanggap untuk mengamankan obyek vital milik negara (gedung DPRD Sumatera Utara beserta fasilitas-fasilitas yang ada didalamnya), dari setiap bentuk tindak anarkis atau tindakan-tindakan yang bersifat destruktif lainnya.

Dalam tayangan berita di televisi juga terlihat jelas kalau jumlah personil aparat yang diturunkan Poltabes Medan untuk mengamankan obyek vital negara serta pimpinan Dewan, tidak sebanding dengan banyaknya jumlah massa yang menduduki gedung DPRD Sumatera Utara.

Walaupun tidak terlibat secara langsung atas peristiwa perusakkan atau pemukulan terhadap diri Ketua DPRD Sumatera Utara, para penggerak demonstrasi pembentukan propinsi Tapanuli dapat dipersalahkan karena mereka tidak berusaha mencegah dan mencoba mengendalikan amukan massa yang telah bertindak brutal, anarkis, serta mengakibatkan korban jiwa.

Peristiwa pendudukan gedung DPRD Sumatera Utara yang diikuti dengan perusakkan peralatan yang ada didalam ruang sidang paripurna, dan berakhir dengan penyerangan yang mengakibatkan meninggalnya Ketua DPRD Sumatera Utara, merupakan sebuah pelajaran berharga dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

Komunikasi politik seharusnya disikapi dengan upaya dialog yang dibangun oleh para politisi dengan para anggota masyarakat yang menuntut agar aspirasinya didengarkan, bukan dengan membiarkan atau mendiamkannya.

Pada sisi yang lain, keinginan untuk mendengarkan suara rakyat, seharusnya menjadi budaya di kalangan politisi kita, karena mereka bisa menjadi anggota parlemen karena rakyat memilih mereka, bukan atas usaha mereka sendiri.

Bagaimana masyarakat Indonesia dapat belajar tentang berpolitik yang baik serta bisa mengendalikan diri kalau keberadaan mereka di mata para wakil rakyat ataupun para pemimpin negara, seakan-akan tidak nyata, suara aspirasi mereka benar-benar tidak didengarkan, dan besarnya keinginan mereka agar mereka dapat berdiri dengan tegak, tidak diperhatikan?

Negara kita adalah negara hukum. Selayaknya hukum ditegakkan kepada pihak-pihak yang telah melakukan tindakan destruktif atas gedung DPRD Sumatera Utara maupun kepada pihak-pihak telah melakukan penyerangan terhadap para pimpinan Dewan.

Tidak hanya kepada para pelaku tindakan perusakkan gedung DPRD Sumatera Utara dan penggerak demonstrasi di gedung DPRD Sumatera Utara saja yang mendapatkan tindakan hukum, namun juga kepada segenap aparat negara yang tidak menjalankan tugas dengan baik, untuk mengamankan obyek vital milik negara serta melindungi para pimpinan Dewan, mereka juga harus mengakui bahwa mereka tidak menjalankan tugasnya dengan baik, setidaknya secara moral.

Pemerintah dan aparat kepolisian seharusnya berani mengakui kalau mereka memang telah lalai bertindak untuk mengamankan aspirasi masyarakat yang mengemuka atau yang ingin disalurkan, menjaga keutuhan serta keamanan simbol-simbol demokrasi, dan menjaga keselamatan pejabat publik negara. Sebab oleh karena kelalaian mereka, peristiwa di gedung DPRD Sumatera Utara itu, dapat terjadi.

Wacana politik tentang keinginan sejumlah anggota masyarakat Sumatera Utara agar dilakukan pembentukkan propinsi baru, kiranya dapat diarahkan kepada proporsi yang tepat serta sesuai dengan kepentingan nasional.

Kesalahan telah terjadi. Sistem penyaluran aspirasi serta pembentukan wilayah baru harus diperbaiki, agar kejadian yang telah menorehkan tinta hitam pada harmonisasi kehidupan demokrasi di negara kita, tidak terulang kembali.

Satu nasehat bijak mengatakan : "Selama masih ada disebutkan hari ini, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri."

Masih ada banyak hal yang harus diperbaiki dalam sistem dan alam demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Perbaikan iklim demokrasi perlu dilakukan mengingat masyarakat kita sudah semakin pintar untuk melihat dan menilai, seberapa serius para pemimpin negara ini bekerja memimpin serta mengarahkan kemajuan bangsa.

Apabila tidak ditanggapi dan disikapi dengan serius, alam demokrasi Indonesia akan sulit berkembang, dan dunia akan memandang negara kita sebagai negara yang tidak konsisten serta tegas menerapkan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat.

Haruskah itu terjadi?


.Sarlen Julfree Manurung
Labels: | edit post
4 Responses


  1. tapi lihat juga ada apanya dibalik semua itu, tyt massa yg mengamuk bukanlah riil hendak menyampaikan aspirasi, melainkan hanya rakyat (mahasiswa2) berfikiran dangkal yg mau dibayar 20 ribu doang untuk bikin ribut dan huru-hara dan dalangnya sebuah universitas yg juga py donor/ dalangnya lagi yg saat ini sedang diselidiki pihak berwajib. jd yg penting bukan masalah pemekaran propinsi yg hrs diurusin atau bagaimana sistem penyaluran aspirasi diperbaiki, melainkan yg harus diperbaiki dan wajib menjadi beban kita bersama adalah bagaimana mendidik mental rakyat ini (mahasiswa) spy tidak menjadi mental tempe yg rela menjual harga diri bangsa demi 20 ribu saja!!!


  2. dalam tulisan selanjutnya, saya akan membahas tentang bahan pemikiran yang Ito Minar sampaikan sebagai komentar tulisan saya ini. Thanks Ito Minar.


Post a Comment