My Mind
Panas-Dingin Kehidupan



Sudah beberapa minggu belakangan ini, kita tidak dapat memprediksikan keadaan cuaca. Saat pagi hari cuaca terlihat cerah, dalam tempo 1 jam saja, cuaca berubah mendung dan akhirnya turun hujan lebat yang disertai angin kencang.

Bagi mereka yang berangkat bekerja menggunakan angkutan umum, keadaan ini sering kali membuat mereka dalam dilema, apakah akan membawa jaket atau cukup membawa payung. Bagi para perempuan, membawa payung adalah sesuatu yang biasa. Sedangkan seorang pria, membawa payung itu adalah pilihan yang kesekian.

Sebuah pilihan yang sederhana memang, namun ini menyangkut faktor kebiasaan dan ego semata. Bagaimana pun, panas dinginnya udara harus kita sikapi dengan bijaksana.

Namun, ada kondisi panas dingin dalam konteks berbeda, yang sulit sekali kita sikapi dengan bijaksana. Perlu kesabaran dan upaya pragmatis untuk menghadapi keadaan panas dingin yang satu ini.

Panas-dinginnya harga barang-barang kebutuhan pokok...dalam beberapa bulan belakangan ini, terjadi di negeri kita. Lonjakan berbagai bahan kebutuhan pokok secara silih berganti dan seakan tiada habis-habisnya, mampu membuat banyak ibu-ibu di negeri kita tidak bisa atau tidak sanggup membuat ragam pilihan dalam menyediakan menu makanan di meja makan keluarga. Sedangkan bagi para bapak-bapak, mereka harus semakin bekerja keras, agar kenaikkan harga tidak keluarganya mengalami kesulitan untuk makan.

Harga-harga kebutuhan pokok, sebentar naik, gak lama turun sedikit. Turunnya harga bisa terjadi kalau pemerintah segera turun tangan, bukan karena pasar sendiri yang menghendaki harga-harga tersebut turun. Sifatnya bukan sistematik.

Ibu-ibu kita seakan dipaksa untuk hidup kembali ke tahun 1960-an, saat banyak kebutuhan pokok sulit untuk didapatkan. Kalau ada, mereka harus antri berjam-jam atau membelinya dalam jumlah terbatas karena mahal harganya.

Tak disangka, kondisi seperti sekarang, terjadi di jaman modern seperti sekarang ini, banyak ibu-ibu di negeri kita harus antri untuk mendapatkan minyak tanah, minyak sayur, bahkan beras. Negeri yang kaya dengan hasil bumi ini, rupa-rupanya sulit menyediakan kebutuhan pokok bagi warga negaranya dengan melimpah-limpah dan harga murah.

Bisa makan 3 kali sehari saja susah, apalagi mau mengumpulkan materi hingga menjadi kaya harta... entah kapan bisa terjadi.

Sebagian rakyat Indonesia memang seakan berada dalam posisi terpuruk oleh kemiskinan. Ketika yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Entah sampai kapan seluruh rakyat Indonesia bisa masuk ke dalam kategori masyarakat makmur dan sejahtera.

Oleh karena kemiskinan, jiwa-jiwa banyak yang tidak kuat menghadapi tantangan beratnya kehidupan. Ada yang bunuh diri, dan ada pula yang mati kelaparan. Sangat mengenaskan ketika melihat berita di televisi dan membaca di koran, peristiwa meninggalnya seorang ibu yang sedang hamil tua beserta anaknya yang mati kelaparan di Sulawesi Selatan karena tidak punya uang untuk membeli makanan.

Banyak orang yang tidak berani berkomentar melihat dan membaca tragedi itu karena  memang, tragedi seperti itu tidak perlu terjadi di negara kita.

Kalau sudah seperti ini, seluruh bangsa Indonesia menjadi panas-dingin, semoga saja, termasuk  didalamnya, pemerintah kita....
 

.Sarlen Julfree Manurung
Labels: | edit post
2 Responses

  1. Mungkin masyarakat Indonesia di Jerman mau membantu perbaikan keadaan di tanah air?

    .Julfree


Post a Comment