My Mind
SUSAH DAN SENGSARANYA MENJADI RAKYAT



Entah kenapa, nampaknya bangsa Indonesia sangat suka sekali bersikap diskriminatif kepada kelompok masyarakat yang termasuk kategori ekonomi menengah-kebawah, terutama dari golongan kaum miskin serta kelompok masyarakat tak mampu lainnya. Mereka seakan sulit mendapatkan tempat yang layak di negeri ini.

Ketika upaya pembiayaan pembangunan yang dilakukan negara mengalami kesulitan, hampir dapat dipastikan, kalau kedua golongan masyarakat ini seakan-akan harus dapat menerima dengan pasrah untuk dikorbankan, tidak diayomi dan ditopang oleh negara. Padahal, kemampuan ekonomi masyarakat miskin dan tidak mampu lainnya, cenderung dibawah standar kemampuan ekonomi yang sewajarnya.

Apabila itu terjadi, kedua kelompok masyarakat itu, patut untuk resah karena para ekonom negara, yaitu pihak pemerintah yang mengurusi kelangsungan perputaran roda perekonomian dan keuangan negara, justru mengatakan kalau perkembangan ekonomi negara, mengalami peningkatan. Kalau memang pertumbuhan ekonomi nasional mengalami peningkatan, kenapa makin banyak saja rakyat miskin dan rakyat golongan tidak mampu lainnya?

Segenap angka-angka bermakna positif dari perkembangan ekonomi negara tersebut, bagi kaum miskin serta tak mampu lainnya, tidak memiliki makna penting, karena buat mereka, dapat sekedar makan (tanpa harus memperhatikan kandungan gizi) dan tidak kelaparan saja, itu sudah sangat baik.

Bagi mereka, berbagai usaha untuk pemenuhan asupan makanan secara teratur, lebih memiliki nilai penting dibandingkan angka statistik kemajuan ekonomi negara. Wajar saja kalau mereka berpikiran seperti itu.

Bagaimana mereka mau makan kalau harga-harga kebutuhan pokok mahal harganya? Silih berganti harga-harga sejumlah bahan kebutuhan pokok diguncang. Beras, gula, minyak goreng, daging sapi, tepung terigu, serta banyak bahan kebutuhan pokok lainnya, seakan terjadwal untuk mengalami fenomena harga tinggi karena tiba-tiba hilang dipasaran.

Terakhir kali, kacang kedelai kena imbas. Bahan dasar untuk membuat tahu-tempe itu tiba-tiba lenyap dari pasar karena harga kacang kedelai yang mahal, membuat pihak pabrikan kedua komuditas kelompok makanan murah namun sehat itu, tidak mampu berproduksi lagi. Kalau dipaksakan, mereka semua bisa gulung tikar.

Beberapa waktu yang lalu, komoditas daging sapi hampir menghilang di pasaran karena harga yang melonjak tinggi. Harga daging sapi yang dijual ditingkat pedagang saat itu mencapai 53.000 rupiah. Mereka mengatakan, kalau harga jual yang dianggap memiliki nilai ekonomis bagi para konsumen adalah 44.000 rupiah.

Adapun para pedagang yang berdemonstrasi di depan Istana Merdeka mengatakan, kalau hilangnya daging sapi dari pasar-pasar tradisional, adalah akibat dari adanya monopoli perdagangan daging sapi, khususnya oleh para pemegang kendali keran import daging sapi, yang hanya dikuasai sejumlah perusahaan semata.

Masalahnya sekarang, semua harga barang konsumsi yang terus digoyang tersebut, kalau sudah merangkak naik, rasa-rasanya sulit sekali untuk turun.

Mahalnya harga-harga bahan kebutuhan pokok membuat rakyat miskin dan kaum tak mampu lainnya, semakin sulit untuk mendapatkan produk kebutuhan pokok dengan harga murah namun berkualitas baik karena daya beli mereka memang terbatas sekali.

Kalau memang keadaannya sudah seperti itu, mereka terpaksa harus bisa mengakali pola makan mereka agar tetap bisa makan, yaitu dengan mencampurnya dengan nasi sisa atau dengan produk makanan yang belum tentu layak untuk dikonsumsi.

Beras murah (beras raskin) memang masih ada, tapi sekarang pun harganya belinya sudah ikut-ikutan naik. Tadinya rakyat bisa membelinya dengan harga seribu rupiah per-liter. Namun beberapa waktu belakangan ini, rakyat terpaksa harus mengeluarkan uang seribu enam ratus untuk satu liternya. Kenaikkan harga enam ratus rupiah, sungguh, cukup memberatkan mereka.

Kalau tidak makan, mereka akan mudah terserang penyakit. Tahun kemarin masih ada program asuransi kesehatan masyarakat miskin (askeskin). Tapi tahun itu, sepertinya pemerintah sulit untuk mengadakannya.

Besarnya tunggakan pembayaran askeskin di berbagai rumah sakit yang menerima asuransi bagi rakyat miskin itu, jumlahnya telah mencapai 1,2 trilyun. Keadaan ini membuat program asuransi kesehatan yang sangat membantu segenap rakyat miskin untuk dapat berobat sesuai dengan standar kesehatan yang semestinya ketika mereka menderita sakit, sangat besar kemungkinan, pada pertengahan tahun 2008 ini, akan sulit untuk diteruskan. Entah kemana uang sebanyak itu sekarang mengendap.

Pemerintah memang sudah membayarkan sebagian tunggakan kepada sejumlah rumah sakit penyelenggara askeskin. Namun pembayaran yang ada, berdasarkan keterangan sejumlah  direktur rumah sakit yang dilansir media massa, adalah untuk pembayaran three wulan tahun 2008 ini. Sedangkan tunggakan tahun 2007 yang lalu, belum dibenahi pemerintah.

Apabila kondisinya seperti itu, sama artinya mereka harus rela kehilangan lagi subsidi pemerintah, khususnya untuk pembiayaan asuransi pengobatan. Padahal, untuk tahun 20008 ini, rakyat miskin dan tak mampu lainnya akan mengalami pengurangan secara besar-besaran subsidi BBM, khususnya minyak tanah, untuk maksud penghematan dan mengurangi beban APBN kita.

Alternatif pilihan lain agar bisa berobat dengan biaya murah pun, dicari. Puskesmas menjadi tempat pelarian. Itupun bukan berarti upaya pengobatan bagi rakyat miskin dan tidak mampu lainnya, dapat sesuai harapan dan memadai karena tidak terlepas pula dari sejumlah kendala. Tidak hanya dari segi pelayanan kesehatan, namun juga dalam hal ketersediaan obat-obatan.

Tidak semua jenis obat-obatan tersedia di puskesmas. Bisa dikatakan, di puskesmas hanya tersedia jenis obat generik. Sedangkan obat-obatan paten, yang memiliki fungsi obat untuk penyembuhan jenis-jenis penyakit berat atau spesifikasi penyakit tertentu lainnya, tidaklah tersedia. Kalau pun ada, jumlahnya sangatlah terbatas.

Beberapa waktu belakangan ini, jumlah stok obat generik sudah semakin terbatasnya. Hal ini dapat terjadi karena tingginya biaya produksi obat-obatan generik, membuat pihak pabrikan mulai enggan memproduksinya apabila pemerintah tidak mensubsidi harga produksi obat. Keadaan ini membuat ketersediaan obat-obatan jenis generik di puskesmas menjadi sangat terbatas.

Biaya berobat menjadi semakin besar kalau tidak ada obat generik. Terkadang kondisi ini membuat rakyat miskin akhirnya terpaksa mengkonsumsi obat-obatan yang dijual di warung dan toko obat, yang belum tentu terjamin khasiatnya atau masa berlaku obatnya, atau mendatangi tempat pelayanan pengobatan alternatif, yang belum tentu dalam menjalankan prakteknya sesuai dengan standar pengobatan yang benar.

Padahal, saat musim hujan seperti sekarang ini, berbagai penyakit berkembang subur. Rakyat miskin harus benar-benar melakukan upaya ekstra dalam menjaga kesehatan. Tingginya curah hujan, membuat hadirnya genangan air serta banjir dimana-mana. Genangan air kotor yang menggenang di banyak tempat, dan timbunan sampah sisa banjir, menjadi sarang bagi penyakit.

Penyakit demam berdarah dengue (DBD), diare, infeksi saluran pernapasan atas serta influenza, merajalela. Kalau tingkat kesehatan badan tidak begitu tangguh, penyakit akan mudah masuk. Bagi orang berkecukupan, pergi ke dokter, klinik kesehatan atau rumah sakit, bisa dilakukan. Bagaimana dengan rakyat miskin?

Apabila harus berobat ke rumah sakit, rakyat miskin tak mampu membiayainya. Mau tidak mau, mereka harus berusaha untuk mendapatkan uang apabila harus dirawat di rumah sakit. Kalau tidak meminjam uang dari tetangga atau saudara, yaaa… mereka harus bekerja.

Cari kerja dengan pendidikan rendah, bukanlah perkara yang mudah, bahkan terhitung sebagai sebuah perkara yang sulit untuk didapatkan. Kalaupun dapat kerja, gaji yang didapatkan cenderung tidak mencukupi untuk menutupi tingginya biaya hidup.

Ketika mereka mencoba untuk membuka usaha kecil-kecilan, mereka malah digusur atau dikejar-kejar aparat. Ketika ada niat untuk wirausaha, terganjal oleh tidak adanya modal atau pihak yang bersedia untuk memodali.

Mencoba untuk mencari tambahan pengetahuan atau ketrampilan, juga sulit diperoleh. Bisa duduk di bangku sekolah pada saat sekarang ini, bagi rakyat miskin dan tidak mampu lainnya, sudah menjadi “barang” mahal.

Dalam 10 tahun belakangan ini, biaya pendidikan disetiap tingkatan sekolah, memang mahal nilainya. Meskipun banyak pemerintahan daerah yang mengatakan kalau pihak pemda menggratiskan biaya pendidikan, namun dalam pelaksanaannya, itu tidak ada. Pihak sekolah tetap mengajukan dan membebani para siswa dengan biaya-biaya yang tidak disubsidi, baik oleh pemerintah daerah maupun oleh pemerintah pusat.

Bagaimana dengan mengikuti kursus? Sama saja. Biaya mengikuti kursus tak sanggup terpenuhi karena memang rata-rata membutuhkan biaya yang cukup besar, dan sangat jarang tempat kursus yang mau memberikan tarif super murah. Apalagi belakangan ini sudah banyak Balai Latihan Kerja (BLK) yang tutup karena tidak adanya pelatih atau peminatnya.

Kesengsaraan hati dan perasaan bahkan terjadi meskipun itu bukan karena kehendak mereka. Contohnya, kelompok masyarakat yang harus kehilangan kepemilikkan tanah dan harta kekayaan lainnya oleh karena terkubur oleh lumpur panas Lapindo, ataupun pemecatan besar-besaran oleh karena PHK.

Jumlah anggota masyarakat yang menganggur memang mengalami peningkatan. Hal yang paling mengejutkan, ada kecenderungan, mereka yang menganggur adalah dari kalangan terdidik, yaitu berasal dari anggota masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan akhir sarjana.

Sungguh, ini merupakan suatu fenomena gunung es yang seharusnya segera di antisipasi agar tidak meledak, karena dunia lapangan pekerjaan, justru tidak menyerap kelompok masyarakat terdidik ini. Pada sisi yang lain, potensi terbukanya lapangan kerja, tidak terjadi karena perbaikan kondisi perekonomian negara tidak diikuti oleh dibukanya banyak lapangan pekerjaan atau terbukanya kesempatan untuk berusaha secara mandiri.

Jadi, meskipun pintar di bangku sekolah atau perkuliahan, belum tentu mereka bisa langsung bekerja karena memang lapangan kerja yang ada sangatlah terbatas.

Memperhatikan seluruh uraian diatas, maka dapat diketahui kalau membaiknya roda perekonomian nasional, tidak diikuti oleh membaiknya tingkat kesejahteraan rakyat, khususnya anggota masyarakat dari kelompok masyarakat ekonomi menengah-bawah. Jangankan bisa bergerak kearah sejahtera, untuk bisa makan secara teratur saja, rakyat harus sangat bersusah payah dalam memenuhinya.

Semua indikator yang memberatkan pembiayaan ekonomi negara, akhirnya bermuara pada pemberian beban kehidupan yang lebih berat lagi kepada kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu lainnya, yaitu terjadinya pengurangan jatah subsidi yang memang seharusnya difasilitasi pemerintah untuk menjamin kelangsungan kehidupan dari kedua kelompok masyarakat tersebut.

Pemerintah seakan menempatkan rakyat miskin dan tidak mampu lainnya pada posisi penuh dilema. Mereka “ditekan” dengan menghadirkan sejumlah alasan, diantaranya harga minyak dunia yang terus bergejolak dan tidak stabil. 

Serba salah. Pada saat dunia bergejolak, keadaan rakyat justru semakin tidak bisa makan dan hidup semakin susah. Amanat UUD 1945 agar negara mengayomi sepenuhnya rakyat miskin serta kurang mampu lainnya, nampaknya belum bisa dilakukan sepenuhnya dalam beberapa tahun kedepan.

Mudah-mudahan, pemerintahan hasil pemilu 2009 nanti, bisa memberikan angin perubahan tingkat kesejahteraan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu lainnya. Pada politisi boleh saling berebut kekuasaan selama rakyat tidak dilupakan. Sedih rasanya kalau negara ini harus bergejolak lagi karena rakyat tidak bisa makan.



.Sarlen Julfree Manurung
Labels: | edit post
1 Response
  1. Audry Dien Says:

    Doa & harapan......karena biasanya masa kampanye 'mereka' hanya mampu mengobral 'janji', surga di telinga rakyat:)


Post a Comment