My Mind
PILKADA DKI JAKARTA : KESUKSESAN DIBALIK BANYAKNYA GOLPUT
Oleh : Sarlen Julfree Manurung

10-Aug-2007, 05:53:26 WIB - [www.kabarindonesia .com]
 
KabarIndonesia - Wuuiiihhh... akhirnya nyoblos juga. Upaya penyaluran aspirasi masyarakat Jakarta untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur baru, tanggal 8 Agustus 2007 kemarin telah dapat dilaksanakan dengan baik. Bisa dikatakan, pelaksanaan pilkada kemarin tidak dilalui dengan adanya gangguan keamanan yang dapat mengganggu proses pelaksanaan pilkada.

Ketika noda tinta celup di jari (tanda telah berpartisipasi dalam pilkada) masih belum luntur seluruhnya, hasil penghitungan sementara surat suara telah menunjukkan siapa yang lebih banyak didukung warga Jakarta menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur untuk masa  pemerintahan 5 tahun mendatang.

Bahkan kemarin pagi ini, telah banyak pihak yang berani menyatakan bahwa hasil hitung cepat yang mereka lakukan sudah merupakan hasil final, dimana pasangan Fauzi Bowo dan Prijanto adalah pemenang pilkada yang baru pertama kali dilakukan secara langsung.

Bila diperhatikan, meskipun belum usai, hasil perhitungan mereka memang tidak jauh berbeda apabila dibandingkan dengan hasil perhitungan yang dilakukan KPUD DKI Jakarta.

Hasil pemantauan pribadi yang dilakukan pada tanggal 8 Agustus 2007 sore hari di sebuah kelurahan di Jakarta Timur juga menunjukkan hal yang tak jauh berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh pihak-pihak yang melakukan perhitungan secara cepat, maupun atas hasil sementara yang dikeluarkan KPUD DKI Jakarta.
 
Memang masih ada 200 lebih kelurahan di Jakarta. Kemenangan yang diperoleh dalam satu wilayah kelurahan, bukan berarti jaminan bahwa hasil yang didapatkan merupakan  representasi untuk seluruh kelurahan  yang ada di Jakarta.

Perhitungan yang benar memang berdasarkan tabulasi surat suara yang dilakukan oleh KPUD DKI Jakarta. Namun bisa di bilang, apabila salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur tersebut menguasai 150 lebih kelurahan dengan prosentase kemenangan sangat mencolok, maka bisa dipastikan pasangan calon tersebut telah menjadi pemenang dalam pilkada tersebut.

Akan tetapi, informasi yang diperoleh dari Harian Surat Kabar KOMPAS hari ini telah menunjukkan bahwa kemenangan Fauzi Bowo memang terjadi untuk seluruh wilayah kotamadya yang ada di Jakarta. Entah, apakah hasil perhitungan tersebut, apakah telah memasukkan wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu atau tidak.

Pilkada kali ini memang merupakan pilkada pertama yang dilakukan secara langsung. Jadi proyeksi kemenangan salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur memang menarik untuk diikuti.

Meskipun sempat ada berita-berita yang menyebutkan adanya "serangan fajar" di beberapa lokasi, tetap saja pelaksanaan pilkada dapat terus dilaksanakan. Berita di Harian Surat Kabar Indo Pos pada tanggal 7 Agustus 2007 mengungkapkan adanya upaya serangan fajar yang dilakukan sejumlah orang.
 
Satu hal yang menarik lainnya, pada pagi hari tanggal 8 Agustus 2007, ditemukan selebaran yang mengatas namakan BEM Jakarta Raya, dimana isinya mencoba untuk mempengaruhi suara rakyat dalam menentukan pilihannya.

Upaya berbentuk serangan fajar dan kampanye mempengaruhi masyarakat secara gelap, memang merupakan pernak-pernik yang selalu terjadi dalam kegiatan kampanye pemilihan umum.

Bagaimana dengan golput?
 
Golput? Rugi banget kalau harus golput. Golput bukanlah sebentuk pemikiran dan perbuatan bijaksana.

Golput tidak mengajarkan seseorang untuk hidup bertanggung- jawab, terutama atas kemajuan berbagai program pembangunan dimana seseorang itu tinggal dan menetap pada suatu wilayah.

Pilkada merupakan sebuah fase awal. Fase lanjutannya adalah pelaksanaan berbagai program rencana pembangunan yang dipersiapkan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.

Sangat disesalkan pula apabila pada hari pencoblosan, ada sejumlah warga Jakarta yang lebih memilih untuk "menghindar" dengan pergi ke kota Bandung, ke kawasan Puncak, ke kota Bogor, ke pusat-pusat hiburan, atau malah nongkrong di berbagai mall yang ada di seputar Jakarta, dibandingkan pergi ke TPS untuk berpartisipasi memberikan suara dalam pilkada.

Menghindar agar tidak ikut mencoblos merupakan bentuk tipikal pemikiran orang-orang bodoh, atau orang yang sedang mencoba untuk membodohi diri mereka sendiri.

Bentuk-bentuk kebodohan lain dinyatakan pula dengan penyampaian sejumlah alasan yang kesannya sangat dicari-cari. Beberapa alasan itu diantaranya :
1. Malas, karena terlambat bangun tidur atau alasan malas lainnya.
2. Adanya pemikiran idealisme.
3. Merasa pasangan yang ada tidak sesuai dengan hati nurani.
4. Kurangnya pilihan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.
5. Dll.
 
Sejumlah alasan diatas merupakan bentuk representasi dari pola pemikiran orang-orang yang setengah hati mau menjadikan wilayah tempat diri mereka bermukim menjadi lebih baik.

Permasalahan terbesar yang terkait dengan golput dalam pilkada DKI Jakarta kemarin adalah banyaknya warga Jakarta yang "terpaksa" golput karena nama mereka justru tidak tercatat dalam daftar pemilih tetap.

Padahal, banyak warga kota Jakarta yang ingin memberikan respon positf atas pelaksanaan pilkada namun mereka tidak dapat memilih karena nama mereka tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap.

Jawaban bahwa ada masalah administrasi dalam pembuatan daftar pemilih merupakan sebuah jawaban yang terlalu mengada-ada.
 
Bisa di bilang, jawaban seperti itu sangat mengesankan kalau pembuatan dan pemasukkan (data entry) calon pemilih tetap pilkada kemarin, dilakukan oleh orang-orang pemalas karena nampaknya data calon pemilih pilkada merupakan data yang diambil dari pemilu tahun 2004 yang lalu atau yang sejenisnya (data jadul).

Pernyataan tersebut diperkuat oleh pengakuan sejumlah warga kota Jakarta yang memiliki KTP Jakarta, yang mengatakan bahwa mereka tidak merasa telah di data untuk menjadi pemilih tetap dalam pelaksanaan pilkada kemarin.

Berdasarkan pengakuan langsung sejumlah ketua RT juga didapatkan pengakuan bahwa sejumlah nama yang tercantum di dalam daftar pemilih tetap di wilayah mereka, keberadaannya sudah tidak masuk lagi dalam lingkup Rukun Tetangga mereka karena telah pindah rumah atau telah meninggal dunia.

Oleh karena tindakan atau langkah-langkah tersebut, jumlah mereka yang terpaksa golput tersebut mencapai kisaran 25 - 33 % dari total 5,7 juta pemilih yang berhak untuk memilih. Suatu keadaan yang cukup mengkhawatirkan.

Sebagai ibukota negara, sebagai sebuah kota metropolitan, seharusnya hal itu tidak perlu terjadi.
 
Seharusnya Jakarta sudah memiliki atau menerapkan sistem manajemen pengelolaan data administrasi masyarakat yang lebih tertib, terintegrasi, up to date, dan lebih tertata.

Angka 33 % dari 5,7 juta pemilih bukanlah angka yang sedikit. Bisa dibilang, jumlah yang begitu banyak tersebut, sepatutnya menjadi bahan pelajaran yang sangat penting dan berharga untuk pelaksanaan pilkada di masa yang akan datang, atau bahkan dalam kegiatan pemilu lainnya.

Padahal, banyak warga kota Jakarta yang ingin merespon kegiatan pilkada namun mereka tidak dapat memilih karena nama mereka tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap.

Mereka patut kesal atau kecewa atas apa keadaan yang mereka alami. Namun mereka tidak punya kuasa karena sebagian besar dari mereka hanyalah kelompok masyarakat ekonomi lemah atau para karyawan swasta yang tidak memiliki waktu untuk mengurus pengecekkan atau pencatatan nama mereka di KPUD.

Seharusnya ada tindakan fairness atas situasi yang ada terjadi pada kelompok masyarakat ini. Namun rupanya upaya untuk "menjemput bola" bukan sebuah langkah pilihan yang seharusnya dilakukan oleh KPUD DKI Jakarta.

Padahal, KPUD DKI Jakarta bisa membuat pos pencatatan pada tingkat kecamatan atau kelurahan, agar lebih dekat dengan masyarakat. Mereka tidak menuntut lebih, namun mereka pun mengingatkan bahwa situasi yang terjadi sekarang, dapat terjadi lagi pada masa pemilu yang akan datang.
 
Demikianlah pernak-pernik pelaksanaan pilkada DKI Jakarta yang baru lalu dan dilakukan secara langsung untuk pertama kalinya. Ada sisi kelebihan namun ada juga sisi kekurangannya. Proses pembelajaran yang terjadi pada pilkada DKI Jakarta kemarin sebaiknya dapat meningkatkan mutu dan kualitas pelaksanaan pilkada (atau bentuk pemilu lainnya) di ibukota Jakarta.

Sebagai ibukota negara, Jakarta memang seharusnya dapat menjadi contoh untuk pelaksanaan pilkada di wilayah atau propinsi lainnya.
Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment