My Mind
PLURALISME DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Membangun Pola Karakter Seksualitas Yang Benar di Tengah Masyarakat



Bila kita bicara soal pluralisme, maka itu sama saja kita membicarakan keragaman
komunitas masyarakat yang ada di suatu negara atau suatu wilayah tertentu.

Apapun argumentasi yang disampaikan, kita tidak bisa menolak sebuah kenyataan bahwa
di dalam suatu wilayah tertentu, pasti memiliki keragaman suku, budaya atau kebiasaan
maupun agama. Pluralisme bahkan sudah ada pada lingkup kelompok masyarakat tingkat
Rukun Tetangga.

Keberadaan keragaman unsur-unsur suku, budaya serta agama di dalam masyarakat,
seharusnya patut kita syukuri. Pola keragaman tersebut sesungguhnya dapat membuat
kita belajar banyak, terutama dalam hal karakter (sifat, sikap, perilaku), kebiasaan,
dan bentuk-bentuk kepercayaan atau nilai moral yang ada.

Dalam pluralisme, kita akan banyak mengetahui watak begitu banyak orang, tanpa kita
harus merasa terikat pada satu kesamaan visi atau pemikiran. Ketika kita sudah banyak
belajar akan hal itu, maka kita akan tahu apa saja yang harus kita perbuat, apa saja
yang harus kita jaga, dan apa saja yang harus tidak kita lakukan untuk menghindari
terjadinya pertikaian.

Pluralisme bukan berarti mencoba tampil beda. Namun pluralisme adalah sejumlah
perbedaan yang menyatu di dalam kebersamaan. Memang tidak salah untuk tampil beda.
Akan tetapi pola tersebut ditunjukkan sebagai sebuah karakter menarik yang patut pula
kita hargai keberadaannya.

Keseragaman bukanlah sesuatu hal yang buruk ataupun salah. Di dalamnya ada satu ciri
khas serta identitas diri. Namun keseragaman, hanya menarik apabila dikaitkan dengan
pakaian seragam sekolah, pakaian seragam kerja atau kedinasan serta warna dinding
atau tembok pagar lingkungan perumahan.

Diluar ciri dan identitas diri, di dalam keseragaman kita akan menemukan sesuatu hal
yang monoton serta adanya unsur tidak tahan lama. Apalagi kalau keseragaman itu harus
dilakukan dalam tempo waktu yang cukup lama.

Tidak adanya variasi dan terikat pada aturan yang sama, adalah sesuatu hal yang dapat
menimbulkan rasa bosan atau jenuh bagi pelakunya. Apabila kejenuhan telah tercipta,
akan menimbulkan pemberontakkan diri. Satu-dua pribadi, mungkin tidak masalah. Tapi
bagaimana bila itu sudah terjadi dalam suatu kelompok masyarakat?

Dalam banyak hal, nilai-nilai kebebasan dan perbedaan itu, perlu juga dihadirkan.

Dalam keseragaman, juga tidak terkandung nilai kompromi. Segala sesuatu haruslah sama
dan berada dalam koridor yang telah ditentukan. Kekuasaan bukanlah berada di tangan
hukum namun berada di tangan mereka yang mengendalikan.

Di dalam kaidah pluralisme, ada nilai-nilai kebersamaan (bukan keseragaman). Segala
sesuatu diputuskan bersama, untuk kepentingan bersama, dan dilakukan bersama. Meskipun
berbeda sikap dan cara pandang, semua harus tunduk pada keputusan yang telah dibuat
bersama.

Lepas kendali dari hal itu, maka akan ada keputusan bersama yang akan menentukan apa
yang salah dan siapa yang salah.

Indonesia, meskipun memiliki beragam suku, budaya, dan iman kepercayaan kepada Tuhan,
merupakan negara yang sangat menjunjung nilai-nilai etika dan moral tinggi. Pluralisme
tidak membuat Indonesia menjadi berbeda dalam memandang etika serta nilai-nilai moral.

Hal ini terjadi karena hampir seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) masih sangat
memegang teguh berbagai prinsip moralitas yang didasarkan pada ajaran agama, yang
dikembangkan dalam kebudayaan atau adat istiadat di dalam masyarakat.

Pada konsep yang lain namun memiliki pola pemikiran yang sama, masyarakat juga masih
memegang teguh cara berpikir : apa yang benar harus dinyatakan benar, dan apa yang
salah, harus pula disampaikan sebagai sesuatu yang salah.

Dalam tulisan ini, saya tidak ingin berbicara apa itu agama dan memeluk agama apa saya,
kamu, atau mereka. Apabila masih mengedepankan pola pemikiran demikian, maka itu sama
saja kita membuka terlalu banyak sisi yang tidak kita ketahui. Kondisi seperti itu
justru dapat memperkeruh masalah, dimana keadaan seperti ini tidak akan pernah ada
habis-habisnya untuk dibahas.

Saya sangat percaya dengan eksistensi dan posisi Tuhan. Bagaimanapun perbedaan kadar
keteguhan iman dan pengetahuan kita akan agama atau kepercayaan yang kita anut,
apabila dipertanyakan atau bahkan dipertentangkan, itu tidak akan mengubah karakter
Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa dan Maha Esa.

Keragaman iman kepercayaan yang ada di dalam masyarakat, juga menimbulkan cara pandang
atau pemikiran yang berbeda-beda pada sesuatu hal ataupun banyak hal. Perbedaan cara
pandang juga terjadi pada saat masyarakat membicarakan seksualitas.

Setiap orang, apabila di minta berkata jujur dan terbuka, pasti memiliki cara pandang
serta pemikiran yang berbeda tentang seksualitas. Ada diantara mereka yang memiliki
pola pandang yang sama, namun ada juga yang memandang dari banyak sisi.

Bentuk pola pandang seperti ini bisa terjadi karena masing-masing anggota masyarakat
memiliki tingkat pendidikan, gaya pergaulan, keteguhan iman kepercayaan, dan tentunya
cara pandang yang berbeda-beda.   

Perkembangan jaman memang memiliki pengaruh cukup besar pada cara pandang dan cara
menentukan sikap, termasuk diantaranya, terhadap seksualitas.

Apabila masalah seksualitas ditanyakan kepada anggota masyarakat yang termasuk dalam
generasi angkatan 60an (sekitar umur 40 tahun ke atas pada saat ini), maka bisa
dikatakan kalau cara pandang dan penilaian mereka terhadap seks masih sangat kuat dan
masih cukup dipegang teguh.

Prosentase sikap orang yang masih memegang teguh cara pandang yang hakiki mengenai seks
pada anggota masyarakat yang masuk dalam generasi angkatan 60an, bisa dikatakan masih
diatas 90 %.

Pada masyarakat yang masuk angkatan 60an, mereka masih memandang seks sebagai sesuatu
yang sakral, yang hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami-isteri, dan mereka juga
memandangnya sebagai suatu kegiatan reproduksi manusia.

Berbeda rasanya kalau hal itu diungkapkan oleh sejumlah anggota masyarakat dari
generasi diatas angkatan 70an (mereka yang berkisar umur 30 tahun pada saat ini).
Mereka cenderung akan memiliki jawaban serta uraian yang agak berbeda dengan anggota
masyarakat yang masuk dibawah angkatan 70an.

Perbedaan pendapat itu bisa terjadi karena bagian dari generasi-generasi yang ada di
dalam masyarakat, telah mengalami proses pergeseran cara berpikir, yang dipengaruhi
oleh adanya perkembangan jaman.

Bagi mereka yang termasuk dalam generasi diatas angkatan 70an, mencari serta mendapatkan
informasi bukan lagi hal yang sulit karena sebagian besar dari mereka telah mengenal
teknologi dengan baik. Teknologi memang sangat membantu dan mempermudah seseorang
untuk mendapatkan informasi serta berita yang dibutuhkan. Dalam arti, akses pada angkatan
ini lebih terbuka dan lebih banyak.

Karena mereka telah mengenal dan memiliki pengetahuan dengan baik terhadap penggunaan
teknologi sehingga bisa dengan mudah mengakses atau mendapatkan berita atau informasi,
maka mereka termasuk dalam golongan masyarakat modern.

Hal ini menyebabkan pola pandang dan perilaku seksualitas kelompok masyarakat ini sudah
sangat jauh bergeser dari kelompok masyarakat yang belum modern. Segala akses yang
mereka dapatkan membuat mereka tidak sekedar memandang seksualitas sebagai kegiatan
reproduksi manusia semata, tapi juga sebagai sesuatu hal yang dapat dieksploitasikan
kepada orang lain.

Ada 2 macam bentuk tindak eksploitasi :
1. dilakukan langsung kepada obyek,
2. dengan menggunakan media gambar atau film.

Apabila terjadi tindak eksploitasi secara langsung pada obyeknya, maka yang terjadi
adalah sebuah upaya eksploitasi dengan cara-cara pemaksaan (bentuk pelecehan atau
tindak pemerkosaan) atau dengan mengatas-namakan sebagai sebuah tindakan yang diartikan
sebagai “suka sama suka.”

Bentuk tindak eksploitasi yang lebih besar lagi terjadi saat seksualitas sudah
dijadikan sebagai sebuah kegiatan “industri", yaitu kegiatan yang mengatas-namakan
seni atau upaya mencari hiburan atau kesenangan dengan memanfaatkan teknologi.

Keberadaan industri inilah yang sesungguhnya membuat nilai-nilai moral dan norma
hidup sejumlah anggota masyarakat dapat dicemari oleh berbagai bentuk produk industri
yang berkaitan dengan pornografi. Bahkan ada diantara mereka yang menganggap bahwa
seks bebas merupakan sesuatu yang biasa.

Apakah ada sisi baik di dalamnya? Tentu tidak. Justru sisi negatif yang didapatkan.

Tindak eksploitasi itu memang merupakan sesuatu hal yang buruk dan patut mendapatkan
penanganan hukum sesegera mungkin. Karena memang, segala tindakan atau perbuatan yang
sudah jauh menyimpang atau berada diluar batas kaidah hukum serta moral, sudah
selayaknya berhadapan dengan hukum.

Kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan mematikan “industri” yang bergerak dalam
bisnis mengeksploitasi seksualitas. Lalu dilakukan berbagai kegiatan prefentif untuk
menutup setiap celah yang memungkinkan industri seperti itu bangkit kembali.

Dikaitkan dengan industri pornografi, tindak pelarangan memang tidak selalu efektif
untuk dilakukan. Oleh karena itu, upaya keras yang patut dilaksanakan adalah dengan
menutup semua kegiatan industri yang terkait di dalamnya.

Kita memang tidak bisa membatasi masyarakat untuk mencari tahu atau menutup semua
pintu-pintu informasi untuk mendapatkan informasi tentang seksualitas karena memang
merupakan kebutuhan alamiah setiap individu.

Namun kita bisa mencegah atau memberi batasan, dengan lebih memperkeras bentuk hukuman
yang harus ditanggung atas setiap bentuk informasi yang isinya merupakan sebuah
tindak eksploitasi seksualitas. Bisa berbentuk hukuman fisik (dimasukkan ke dalam
penjara), ataupun hukuman moral (berdasarkan adat istiadat dan budaya masyarakat
setempat).

Bisa pula dikatakan, kiranya lebih baik kita terang-terangan membatasi dan membuat
landasan hukum yang lebih tegas, keras dan lebih jelas lagi, daripada lebih banyak
lagi anggota masyarakat yang mencoba mencari secara sembunyi-sembunyi semua bentuk
informasi mengenai seks.

Usaha bisnis yang dilakukan sembunyi-sembunyi cenderung lebih berbahaya daripada
yang terang-terangan atau terbuka.

Kegiatan bisnis yang dilakukan secara terbuka, pada dasarnya telah mendapatkan izin
usaha dari pemerintah setempat. Sedangkan untuk kegiatan yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, pola kegiatan yang dilakukan sudah berbentuk jaringan, dimana
operasional dalam mata rantai akan terputus apabila salah satu diantaranya tertangkap.

Negara Malaysia termasuk salah satu negara yang ketat dan keras dalam penerapan hukum
pada mereka yang mengeksploitasi seksualitas. Namun pada kenyataannya, banyak film
porno yang beredar di Indonesia, adalah film-film porno yang berasal dari Malaysia.

Mereka yang sering surfing di internet (khususnya para penikmat hal-hal yang berbau
pornografi) pasti sudah sangat mengenal film-film yang diproduksi atau yang berasal
dari Malaysia. Rupanya, hukuman yang keras, tidak berarti membuat kegiatan industri
yang mengeksploitasi seks tidak terjadi di Malaysia.

Daerah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan juga merupakan area yang
cukup kental dengan dunia industri hiburan yang terkait dengan seksualitas.
Penyelundupan manusia untuk dipekerjakan sebagai PSK, juga kerap terjadi lewat jalur
perbatasan ini. Dan sudah menjadi pemberitaan umum bahwa cukong-cukong perdagangan
manusia ini, rata-rata berasal dari Malaysia (hampir sama dengan perdagangan kayu
secara ilegal).

Singapura cenderung menggunakan prinsip pembelajaran seksualitas secara terbuka namun
tetap memiliki sikap tegas. Hal itu terlihat dari diadakannya pameran alat-alat seks
dari masa lampau (seperti alat-alat yang digunakan para selir kaisar China), di
exhibition hall bandara Changi.  

Meskipun demikian, negara Singapura sangat membatasi peredaran majalah porno (seperti
majalah Playboy, Penthouse atau yang lainnya), di tengah masyarakat. Mereka juga
memberikan aturan serta sensor ketat terhadap berbagai jenis tontonan di televisi
atau film DVD.

Pemerintah Singapura juga sangat aktif melakukan berbagai kampanye-kampanye sosial
(semacam kegiatan talkshow atau seminar), untuk memberikan pembelajaran yang tepat
dan benar atas pendidikan seksualitas di tengah masyarakat. Tidak hanya kepada anak,
tetapi juga kepada orang tua yang memiliki anak usia sekolah.

Polanya memang terlihat “seperti” tidak demokratis sekali. Namun itu merupakan hal
penting yang bisa dilakukan dan dianggap sebagai upaya yang sangat efektif untuk
mencegah berkembangnya industri yang mengeksploitasi seks. Pola kompromi tetap ada
agar tidak terjadi kegiatan sembunyi-sembunyi yang kemudian bisa menjadi sebuah
usaha atau industri.

Bohong rasanya andai dikatakan para penguasa yang duduk di kursi parlemen atau
pemerintahan, bukan penikmat industri seks pula. Ini bukan lagi sekedar gosip miring
namun sudah menjadi kenyataan dan telah ada contohnya di negara ini.

Mungkin, kalau dilakukan berbagai kegiatan untuk membongkar lebih banyak lagi skandal
seks di parlemen atau di pemerintahan, maka akan ditemukan lebih banyak lagi
skandal-skandal seks yang melibatkan para penguasa tersebut.  

Saya bukan ingin mengatakan bahwa industri seks sebaiknya di kompromikan saja. Tidak,
bukanlah demikian. Politik dan agama (pendidikan moral) bukanlah satu jalur yang sama.
Keduanya tidaklah bisa disatukan ataupun dicampur-adukkan. Ini pun bukan sekedar
masalah adanya hitam di atas putih.

Apapun larangan yang dibuat, pasti akan ada usaha atau niat-niat terselubung untuk
tetap mengadakannya. Berawal dari kegiatan mengintip orang mandi atau celana dalam
seorang perempuan saja, tindak pelecehan sudah terjadi. Sulit memang, tapi kita harus
bisa membuat berbagai upaya pelarangan menjadi sesuatu hal yang efektif.

Ini menyangkut banyak kepala yang memiliki hasrat, nafsu, dan pola pikir yang tidak
sama. Namun ini juga sangat berkaitan dengan keragaman pendapat dan kecemasan dari
banyak anggota masyarakat, agar seksualitas tidak menjadi sesuatu hal yang bersifat
mudah atau dapat dieksploitasi.

Negara kita memang merupakan salah satu negara di dunia yang sangat kuat dalam  
penjabaran nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan di tengah masyarakat. Esensi ini
seharusnya dilakukan seimbang, mengingat negara kita memiliki konsep pluralisme yang
begitu kental.  

Sifat subyektif dalam setiap agama mempunyai nilai penting yang sejajar, dalam arti,
pengambilan keputusan seharusnya melibatkan pola pemikiran dan sisi moral dari ajaran
agama yang ada di negeri ini.

Prinsip-prinsip yang melekat dalam agama, bisa dikembangkan sebagai potensi dasar
untuk menguatkan berbagai upaya memerangi semua industri yang berupaya untuk
mengeksploitasi seksualitas atau pornografi, baik secara terbuka ataupun secara
terselubung.

Dalam pluralisme, hal itu merupakan energi bagi setiap pengambil keputusan.

Melarang setiap anggota masyarakat untuk mencoba menunjukkan jati dirinya melalui
cara berpakaian adalah suatu pola pemikiran yang terlalu dipaksakan. Kegiatan
memvisualisasikan sesuatu yang ada di dalam diri seseorang, merupakan hak asasi
setiap orang, dimana mereka bertanggung-jawab penuh atas setiap tindakannya.

Menutupi bagian tubuh agar tidak memancing hasrat dan nafsu orang lain, memang
merupakan salah satu perbuatan baik. Tapi, apakah hal itu akan mencegah terjadinya
tindak pelecehan atau bahkan perkosaan? Tentu tidak.

Tuhan tidak menciptakan perempuan sebagai warga masyarakat kelas dua. Perempuan
diciptakan Tuhan untuk mendampingi laki-laki, bukan budak atau pelayan laki-laki.

Meskipun perempuan diciptakan setelah laki-laki, namun itu bukan berarti kita
bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa posisi perempuan adalah pihak yang harus
hidup dalam kondisi tertekan atau mendapatkan tekanan hidup dari para laki-laki.

Pencerahan terbesar yang dapat dikatakan atas karya penciptaan seorang perempuan
di bumi ini adalah : Perempuan diciptakan Tuhan sebagai manusia…

Inilah hakekat yang tidak bisa dibiaskan atau dikaburkan maknanya oleh siapa pun…

Aneh rasanya apabila seorang laki-laki bisa melakukan berbagai hal, namun hal yang
sama tidak dapat dilakukan seorang perempuan… Siapakah diri kita ini sehingga berani
membatasi atau merampas hak asasi orang lain?

Pada sisi yang lain, kita tidak dapat menyeragamkan citra atau ciri khas dari
seseorang karena memang setiap orang memiliki cara, kiat, dan gayanya masing-masing
untuk menampilkan citra serta ciri khas yang ada dalam dirinya. Bila upaya seperti
itu kita lakukan, maka akan menimbulkan banyak pertentangan di tengah masyarakat.

Apa yang bisa kita lakukan adalah dengan mengarahkan citra atau ciri seseorang
tersebut agar apa yang ingin ditunjukkan atau ditampilkan adalah sesuatu yang layak
dan sesuatu dengan sopan santun berpakaian yang ada di tengah masyarakat.

Kalaupun ada yang ingin menampilkannya secara berbeda, maka kita harus mengajarkan
sikap bertanggung-jawab atas cara berbeda yang mereka lakukan tersebut. Mode atau
trend, memang ada. Tapi segala sesuatunya harus tetap dilakukan secara
bertanggung-jawab.

Gaya dan cara berpakaian seseorang (khususnya kaum perempuan), memang sering kali
digunakan sekelompok orang untuk menghadirkan thema-thema yang berkaitan dengan
sejumlah upaya untuk membatasi cara seseorang berpenampilan / berbusana, dengan
alasan “dapat mengundang nafsu atau hasrat birahi orang lain…”

Lalu, agar upaya itu dapat diterima akal pikiran dari sekelompok besar orang lainnya,
maka digunakan kaidah-kaidah agama, dengan masuk untuk mempermudah proses pengesahan
ide sekelompok orang itu untuk menjadi suatu wacana politik dan hukum di negeri ini.    

Meskipun dalam pelaksanaannya sudah sangat sering terjadi, namun pada hakekatnya
kita tidak dapat mempolitisasikan serta memposisikan agama sebagai sebuah bahasa
politik. Ketika wacana itu muncul ke permukaan, maka dapat dipastikan, pelan namun
pasti, kehancuran sebuah negara akan terjadi.

Normatif saja. Pemikiran dan juga sasaran yang ingin dicapai keduanya (agama dan
politik) tidaklah sama. Bisa diagendakan namun tidak akan pernah mencapai satu titik
kesamaan. Jiwa dari keduanya sangat bertolak-belakang.

Langkah-langkah bijaksana yang memang sangat mungkin untuk dilaksanakan adalah
dengan mengikuti apa yang telah dilakukan Singapura, yaitu menerapkan aturan main
yang tegas dan terus mengagendakan wacana publik (talkshow, seminar, dll) yang bisa
diterima semua kalangan.

Membangkitkan kesadaran berbusana yang baik memang tidaklah mudah. Namun upaya
tersebut patut dicoba agar upaya penyadaran diri dapat tumbuh dari dalam diri, bukan
karena adanya satu atau beberapa peraturan. Apabila sudah ada kesadaran dari dalam
diri sendiri, tanpa dibuat peraturan hukum pun, gaya berbusana setiap orang akan
sesuai dengan perilaku berbusana yang baik serta sopan.

Mengancam atau menakut-nakuti, bukanlah langkah yang bijaksana apabila dikaitkan
dengan sekelompok besar anggota masyarakat.

Lebih memberdayakan para rohaniawan juga merupakan salah satu langkah yang bisa
diambil. Untuk apa ada rohaniawan kalau mereka sendiri tidak bisa diajak kerjasama
serta dukungannya dalam memperbaiki tata berbusana anggota masyarakat…???

Demikian pula keberadaan orang tua. Sebagai tonggak tumbuh-kembangnya seorang anak,
mungkin sudah saatnya diadakan pengajaran kepada para orang tua, yang dapat membantu
mereka untuk mampu menjelaskan masalah seks dengan tepat dan benar kepada
anak-anak mereka.

Banyak orang tua yang mencoba menjelaskan masalah seks dengan bahasa yang sulit
dimengerti oleh seorang anak. Beberapa orang tua bahkan menggunakan sejumlah bentuk
perumpamaan yang kurang tepat. Bahkan ada beberapa orang tua yang justru tidak
mencoba untuk menjelaskannya dengan mengalihkan pembicaraan pada sang anak bertanya
soal seks atau alat reproduksi manusia.

Dalam kaitannya dengan keinginan untuk melakukan tindak eksploitasi seksual dalam
diri seorang anak, orang tua memiliki andil dalam mengarahkan seorang anak untuk
dapat tahu dan mengerti : apa yang boleh dan tidak boleh, mana yang benar serta
tidak benar, dan apa yang patut dilakukan dan mana yang tidak patut dilakukan.

Orang tua harus mengajarkan bahwa melakukan hubungan seks itu adalah sesuatu hal
yang suci, dan  hanya baru bisa dilakukan pada saat seorang anak kelak telah menikah.

Oleh sebab itu, orang tua harus memberikan penekanan pola pikir kepada seorang anak
bahwa menjaga kesucian tubuh dan menjaga sikap serta perilaku saat mereka bergaul,
adalah hal yang penting dilakukan agar terhindar dari pelecehan atau adanya
pencemaran pemikiran anak untuk melakukan sebelum waktunya.

Orang tua harus mampu dan bisa mengajarkan serta menerapkan disiplin kepada anak
akan nilai-nilai moral yang ada dalam agama, secara baik dan benar karena memang
agama merupakan kunci kendali yang paling tepat.

Bentuk pemikiran seperti ini ada karena orang tua merupakan pihak yang paling tahu
perkembangan pola pikir serta perbuatan yang benar dan baik dari seorang anak.   


PENUTUP

Pluralisme dalam masyarakat adalah sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan.
Keberadaan pluralisme adalah bagian dari karunia Tuhan. Oleh karena itu, apapun
alasannya, mengubah kondisi plural dalam masyarakat menjadi satu kelompok masyarakat
yang sama, bukanlah langkah yang bijaksana dan sangat bertentangan dengan
kaidah-kaidah agama.

Setiap upaya untuk menyamakan kelompok masyarakat yang plural adalah suatu tindakan
yang akan menghadirkan bom waktu bagi mereka yang ingin mengadakannya. Dimulai dari
pemberontakkan diri, pribadi lepas pribadi, hingga akhirnya komunitas masyarakat
itu sendiri.

Oleh karena itu, setiap Warga Negara Indonesia seharusnya mensyukuri keberadaan
bangsa Indonesia yang dikaruniai Tuhan oleh kondisi masyarakat yang plural sebagai
sebuah bangsa.

Berkaitan dengan perkembangan jaman, keberagaman di dalam masyarakat, seharusnya
membuat masyarakat menjadi lebih kompak dan mempunyai perhatian yang lebih lagi untuk
menghadapinya. Karena meskipun memiliki banyak ekses positif, perkembangan jaman
juga membawa ekses-ekses negatif.

Kekompakkan itu sebaiknya tidak diartikan dengan pemikirian serta perbuatan yang
membebaskan (dalam arti bebas sebebas-bebasnya) atau menutup seluruhnya keterbukaan
informasi dan sarana hiburan dalam masyarakat. Kita tidak dapat menolak adanya
perkembangan jaman.

Rasanya, kita adalah orang yang sangat munafik apabila kita justru membuat diri kita
tidak dapat mengikuti arus perkembangan jaman. Membuka secara luas akses informasi
atau menutupnya, merupakan salah satu upaya pembodohan masyarakat.

Keterbukaan informasi oleh karena perkembangan jaman dan kemajuan teknologi,
seharusnya membuat kita semakin pintar untuk menggunakan apa yang benar, perlu dan
juga apa yang baik, serta menyaring dan menutup akses apa yang salah serta tidak
baik bagi kehidupan generasi sekarang dan juga di masa yang akan datang.

Agama dan iman kepercayaan bisa digunakan sebagai alat saring untuk menghindari
ekses negatif yang di bawa oleh perkembangan jaman, karena memang kaidah-kaidah
dalam agama mengandung nilai moral tertinggi yang dapat membuat masyarakat bangsa
ini menjadi lebih bermoral.

Namun itu bukan berarti kita mempolitisasi agama karena memang agama dan politik
adalah dua sisi mata uang yang berbeda, dengan misi serta visi yang berbeda pula.

Menguatkan struktur komunikasi dalam keluarga dengan memberdayakan peran orang tua
dalam mendidik anak-anaknya, juga merupakan alat utama yang bisa digunakan untuk
menyaring hal-hal yang tidak baik agar tidak menjadi kepribadian seorang anak.

Keberadaan industri yang mengeksploitasi seksualitas, adalah sesuatu hal yang sulit
untuk di tutup selama masih ada celah yang dibuat oleh para pemimpin bangsa atas
keberadaannya.

Sebagai sebuah industri, tidak ada nilai-nilai yang dapat membuat negara ini
diuntungkan karena memang industri yang mengeksploitasi seksualitas merupakan
industri yang sangat berperan pada kehancuran sisi moral dalam kehidupan generasi
lepas generasi.

Keberadaan industri seperti ini harus ditutup apabila ingin akhlak dan moral bangsa
ini tetap dalam koridor atau kaidah yang benar. Langkah selanjutnya, tinggallah
peran para pemuka agama dan orang tua untuk mengarahkan generasi ini agar memiliki
dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral dalam kehidupan mereka.

Mematikan industri yang mengeksploitasi seksualitas merupakan salah satu langkah
penting agar anggota masyarakat tidak tercemar oleh pemikiran yang salah tentang
bagaimana sesungguhnya seksualitas tersebut.
 


















 






 

    
 




 

   
 
Labels: | edit post
1 Response
  1. azid azidin Says:

    Boss Articlenya bagus euy.. tapi kalo bisa warna tulisannya diganti dg warna yg lebih tajam biar ga puyeng bacanya... thank's


Post a Comment