My Mind

Hari Minggu kemarin (24/07/11), aku dan pacarku tercinta, Ira Rupina Sinaga, mengunjungi Gandaria City. Niat datang kesana adalah untuk lunch dan wasting time. Kami memilih untuk makan di food court yang ada di mall itu.

Usai lunch, kami putuskan untuk menonton film Catatan Harian Si Boy di Bioskop XXI yang masih diputar di sana.

Film ini cukup menarik. Daya tariknya ada pada sejumlah dialog yang mengandung nilai-nilai filosofis kehidupan yang bisa dipetik oleh penonton film ini. Akan tetapi, secara keseluruhan, jalan cerita dari film itu, agak dipaksakan. Berbeda dengan film Catatan Si Boy yang dulu pernah meramaikan jagad perfilman Indonesia di tahun 1980-an lalu. 

Tulisan ini, bukan ingin memberikan kritikan lebih mendalam tentang film Catatan Harian Si Boy yang aku dan Ira tonton. Menurut aku, walaupun gak masuk ke dalam film kategori bintang empat atau lima, namun film Catatan Harian Si Boy ini, merupakan tontonan yang cukup menghibur.

Usai menonton, Ira mengajak aku untuk mengunjungi restaurant keluarga yang menyajikan menu andalan berupa kudapan roti bersalutkan ice cream. Sewaktu merayakan ulang tahun tanggal 18 Juli kemarin, Ira membawakan aku kue ulang tahun dari restaurant keluarga ini.

Di restaurant keluarga itu, aku memesan teh tarik, sedangkan Ira memesan Ogura Ice Cream, yaitu makanan berupa potongan-potongan roti berbentuk dadu yang diberi ice cream dan taburan kacang merah diatasnya.

Saat menikmati makanan yang kami pesan, kami sempat berbicara dengan salah seorang manager on duty dari restaurant itu. Jujur, aku benar-benar tidak mengira, kalau pria yang ada dihadapan aku sama Ira itu (saya menduga, usianya berkisar 24-an tahun) yang sempat berbicara dengan kami tersebut, adalah seseorang manajer.

Why? Karena tampilannya tidaklah seperti sosok seorang manager restaurant yang biasa saya temui di berbagai restaurant keluarga yang ada di banyak tempat.

Orangnya tidak gemuk dan tidak juga terlalu tinggi. Kulit badannya cenderung agak hitam, wajahnya tidak mulus (agak jerawatan), serta menggunakan kacamata dengan bingkai agak tebal berwarna hitam. Selain itu, pakaian seragam yang dikenakannya, menurut saya, adalah pakaian yang dipakai, dicuci, dijemur hingga kering, di setrika, dan dipakai lagi.

Maaf, saya sama sekali tidak bermaksud menghina penampilannya, atau tulisan ini aku buat untuk merendahkan harga diri manager restaurant yang kami kunjungi itu, karena memang, seperti itulah visualisasi penampilan manajer restaurant itu yang aku tangkap, saat aku dan Ira berbincang-bincang dengannya.

Faktanya memang demikian. Bisa dibilang, penampilan dari sang manajer, kalah keren dari sejumlah anak buahnya sendiri. Tapiii... ini cuma pandangan pribadi aku saja lhooo...

Well, harus aku akui, rasa kaget mengemuka karena aku berpikir dengan sudut pandang yang selama ini pernah aku temui saja, yaitu para manajer yang selalu tampil keren, sehingga ketika berjumpa dengan manajer restaurant itu, aku hanya terdiam.  

Aku sudah salah dalam menilai hanya karena melihat penampilan dari manajer restaurant itu. Nampaknya, aku sudah “menabrang” isi dari ungkapan lama yang berkata : “Don’t judge a book from the cover”, walaupun penilaian itu tidak aku nyatakan secara terbuka kepadanya.

Sepertinya, konsepsi pemikiran yang sama juga ada saat kami berdua berjalan melintasi sekumpulan sales kartu kredit yang bergerombol berdiri di salah satu selasar yang ada di Gandaria City. 

Meskipun kami melintas di depan mata mereka, akan tetapi tidak ada seorang pun dari antara mereka yang datang mendekati kami untuk menawarkan menggunakan kartu kredit dari bank yang mempekerjakan mereka, oleh karena penampilan kami yang biasa-biasa saja.

Kami memang tampil apa adanya. Aku mengenakan T-Shirt bergambar logo klub sepak bola Juventus warna hitam, dipadu dengan jaket bahan warna hitam, celana bahan warna hitam, dan beralas kaki sandal merk Diadora berwarna hitam. Aku juga membawa tas kecil yang berisi netbook.

Ira sendiri mengenakan T-Shirt warna pink serta celana pendek bahan warna cokelat muda. Alas kaki yang dipakai Ira adalah sendal jepit warna pink. Benar-benar simple.

Busana yang kami kenakan, adalah pakaian yang biasa kami pakai kalau kami lagi jalan-jalan berdua. Harganya tidak mahal, dan bukan pula pakaian yang baru / belum lama kami beli. Pakaian yang kami pakai saat itu, memang tidak ada kesan mahal atau menunjukkan citra seseorang yang berasal dari kaum berada.

Tampilan kami berdua memang santai. Kami berdua memang hanya mengandalkan kerapian dalam berpakaian semata. Yang penting, kami merasa nyaman dengan pakaian yang kami pakai. Kami bisa saja tampil keren dan glamour, tapi bergaya modis bukanlah tujuan kami keluar rumah saat itu.

Kalau saat itu kami agak sedikit “lecek”, karena saat itu kami menggunakan sepeda motor sebagai moda transportasi ke mall itu. Selain itu, kami juga kurang istirahat pada malam harinya.

Mungkin karena pakaian yang kami kenakan tergolong sederhana dan penampilan kami yang sedikit “lecek” (dalam arti, sama sekali tidak menampilkan citra orang kaya), membuat kami berdua sama sekali tidak dilirik oleh para sales kartu kredit itu.  Padahal, belum tentu kami tidak memiliki kesiapan diri untuk memegang kartu kredit.

Aku dan Ira, memang bukan dari kalangan berada. Namun itu bukanlah berarti kami tidak terbiasa dengan bentuk transaksi keuangan menggunakan kartu kredit, sebab kami berdua, pengguna kartu kredit (meskipun aku bukan pengguna aktif kartu kredit -> that is not my type).

Dalam banyak kesempatan, kita sering kali menilai orang lain dari tampilan fisik dan pakaiannya saja, karena memang, penampilan merupakan hal yang pertama kali di lihat orang lain. Padahal, dibalik penampilan yang sederhana atau biasa saja, ada banyak orang yang memiliki otak cemerlang, harta yang melimpah, atau kemampuan leadership yang baik.

Yaa.. terkadang kita terlalu cepat menarik kesimpulan tentang pribadi atau kemampuan orang lain, hanya dari “kulit luarnya” (penampilannya) saja, tanpa pernah mencoba menyelami sisi lain dari kepribadian orang yang kita beri penilaian.

Dalam bekerja, pakaian memang bisa menjadi gambaran siapa diri kita. Semakin tinggi level jabatan yang kita pegang di tempat bekerja, ada baiknya kalau kita sesuaikan dengan gaya atau penampilan kita, tidak tampil apa adanya saja. Bagaimanapun, pakaian yang kita pakai, bisa menjadi cerminan citra tempat kita bekerja.

Memang ada banyak faktor yang menjadi alasan kenapa seseorang ingin tampil sederhana atau biasa-biasa saja. Bukan karena tidak mampu untuk membeli pakaian baru dengan harga mahal, tapi karena merasa nyaman dengan yang dikenakan. 

Berpenampilan sederhana itu, bukan berarti seseorang tidak memiliki apa-apa lhooo... Namun dapat pula menjadi pertanda, seseorang itu tidak ingin menunjukkan apa yang dimilikinya, sehingga dapat bergerak bebas tanpa mengundang adanya tatapan mata atau sebentuk perhatian lain dari orang-orang disekitarnya. 

Dalam hal ini, quality of life kita tidak ditunjukkan melalui penampilan fisik atau busana yang kita kenakan, akan tetapi melalui tutur kata yang sopan dan perilaku yang santun, serta gaya hidup yang sehat. Ada kesadaran diri, bahwa diatas langit, masih ada langit, jadi gak perlu meninggikan dagu.  

Namun tetap saja kita harus memperhatikan atau menyesuaikan pakaian dengan tempat kita berada. Kalau sedang bekerja, pakailah pakaian yang layak dan pantas, Jika pimpinan di kantor, berusahalah untuk tampil layaknya seorang pimpinan, gak harus mengikuti tren mode. Soal citra rasa, kita gak harus mengikuti arus, tapi gak ada salahnya untuk menyesuaikan.

Pada sisi yang lain, kalau kita gak "dilirik" orang lain saat hang-out karena penampilan kita yang gak oke, tidak perlu marah atau kecewa. Santai saja, selama keberadaan kita tidak mengganggu orang lain, kita bisa bergaya sekena hati kita, coz yang tahu bagaimana cara kita menikmati jalan-jalan, adalah diri kita sendiri, bukan orang lain. 

Well, ternyata, ada banyak story yang bisa di dapat saat aku dan Ira jalan-jalan di Gandaria City.


.Sarlen Julfree Manurung



Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment