My Mind

Beberapa bulan belakangan ini, pemberitaan media massa cukup ramai mengangkat berita tentang penahanan sejumlah orang Batak oleh KPK dan aparat Kepolisian Ri, karena terlibat kasus manipulasi pajak, merekayasa perkara hukum, korupsi, penipuan, menerima atau memberikan uang suap, dan pembobolan rekening deposito di suatu bank swasta.

Ada yang sudah mengikuti sidang pengadilan, namun ada pula yang status hukumnya masih terduga, sehingga perkara hukumnya masih dalam tahap penyidikan.

 

Kutub Image Negatif Atas Orang Batak

Mereka yang telah ditetapkan sebagai tersangka, diantaranya :

Gayus HP. Tambunan, Haposan Hutagalung, Maruli Pandapotan Manurung (kasus manipulasi pajak), Cyrus Sinaga (kasus rekayasa perkara hukum), RE. Siahaan (kasus korupsi APBD di Pematangsiantar), Monang Sitorus (kasus korupsi APBD Kabupaten Toba Samosir), Panda Nababan, Poltak Sitorus, Baharuddin Aritonang (kasus menerima suap saat pemilihan Deputi Gubernur Senior BI di DPR), Mindo Rosalina Manullang (kasus suap pembangunan Wisma Atlet di Sumatera Selatan), dan Santun Nainggolan (kasus pembobolan rekening deposito PT. Elnusa Tbk di Bank Mega).

Tidak hanya mereka saja. Ada pula sejumlah orang Batak yang sempat menjadi pemberitaan media massa, karena terlibat dalam kasus hukum besar lainnya. Beberapa diantaranya : Marisi Matondang (kasus dugaan korupsi untuk pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kemenakertrans tahun 2008), dan Daniel Sinambela (suami dari artis Joy Tobing) karena terkait kasus penipuan uang senilai Rp. 20 miliar.  

Nama Miranda S. Gultom juga menjadi pemberitaan media massa, karena diduga telah memberikan uang suap kepada anggota DPR agar dirinya terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior BI. Akan tetapi Miranda Belum ditahan, karena KPK belum menemukan bukti-bukti kuat untuk menahannya.

Kasus-kasus hukum yang membuat mereka menghuni “hotel prodeo”, memang menonjol dan cukup menyita perhatian masyarakat. Penyebabnya : mereka ditetapkan sebagai tersangka dalam sejumlah kasus tindak pidana berskala nasional, dimana ada konspirasi tingkat tinggi didalamnya.

Lalu, sebagian besar dari antara mereka merupakan tokoh-tokoh masyarakat di negara ini, karena mereka adalah anggota DPR, pejabat negara serta anggota dewan direksi dari suatu BUMN. Ada pula yang namanya baru dikenal masyarakat setelah kasus tindak pidana yang disangkakan pada mereka terbongkar, karena ada dugaan, melibatkan pula tokoh partai politik atau pejabat negara lainnya.

Mereka adalah orang-orang terpandang dan cukup disegani, tidak hanya dalam kalangan masyarakat Batak semata, namun juga hampir di seluruh kalangan masyarakat di Republik ini. Oleh karena posisi atau jabatan mereka, negara memenuhi kebutuhan mereka dengan memberikan berbagai fasilitas, sejumlah tunjangan, serta gaji dengan besaran angka yang lebih dari mencukupi.

Demikian pula dengan para pengusaha. Besarnya penghasilan yang mereka dapatkan dari mengelola atau menjalankan bisnis, tidak akan membawa mereka pada keadaan : mengalami kesulitan dalam memenuhi tuntutan hidup.

Satu hal yang pasti, semua orang Batak yang terlibat berbagai kasus tindak pidana berskala nasional tersebut, berasal dari kelompok masyarakat dengan latar belakang pendidikan tinggi.

Apabila mereka ingin bertambah kaya namun dengan cara-cara yang benar, tindakan yang mereka ambil cukup dengan mendayagunakan segenap kharisma, popularitas, serta kemampuan diri mereka dalam menarik simpati orang banyak. Mereka tidak harus melakukan korupsi, tindak penipuan, atau merampok uang orang lain.

Aahhh... apa kata dunia? Ternyata mereka tidak hidup susah, tapi masih juga korupsi, menipu, dan “mencuri” uang orang lain. Mereka seakan-akan tidak punya rasa puas atas pendapatan yang telah mereka terima dari negara, sehingga masih saja serakah, mencari peluang untuk memperkaya diri, bahkan dengan cara tidak halal. Dasar tak tahu malu.

Tindakan mereka telah menurunkan tingkat apresiasi publik kepada orang-orang Batak, hingga tidak lagi berada pada level tertinggi, karena telah muncul satu keraguan atas orientasi kerja serta tingkat kejujuran orang Batak, khususnya, jika berkaitan dengan uang atau “jabatan basah”.

Keraguan itu memang tidak “dicanangkan” secara terbuka, karena penilaian masyarakat cenderung lebih mengarah pada perilaku dan budaya korup dalam diri pejabat dan anggota DPR, secara umum.

 

Kutub Image Positif Atas Orang Batak

Beruntung sekali, orang Batak memiliki Gisheila Ruth Anggitha Nainggolan (16 tahun), Boru Batak yang berhasil mencatatkan prestasi gemilang, lulus SMA dengan nilai ujian tertinggi se-Jakarta. Tentu saja prestasi Gisheila tersebut, mengangkat kembali citra orang Batak yang sempat tercoreng oleh perilaku negatif orang-orang Batak yang terlibat sejumlah kasus hukum besar berskala nasional.

Hasil yang berhasil dicapai siswi SMA 81 Jakarta itu, telah menghadirkan kebanggaan tersendiri bagi orang Batak. Keberhasilan Gisheila, mengobati hati orang Batak, yang sempat kecewa dengan “ulah” para tokoh-tokohnya.

Lulus dengan nilai tertinggi dalam satu propinsi, tidak terjadi secara kebetulan. Keberhasilan Gisheila itu, diawali dan dijalani dengan tekad, semangat, kerja keras, serta motivasi tinggi. Prinsip ini adalah gambaran umum dari prinsip survival yang diterapkan seluruh orang Batak, dimana pun berada.  

Gisheila menyadari tanggung jawabnya sebagai seorang pelajar, sehingga tidak membiarkan benak pikirannya terkontaminasi oleh berbagai kesenangan atau keinginan lain, selain berusaha agar tetap fokus belajar, agar bisa masuk Fakultas Kedokteran UI, sebagaimana yang dicita-citakannya.

Kerangka pemikiran seperti inilah, yang membedakan Gisheila dengan siswa-siswa SMA lainnya, dan dengan orang-orang Batak yang terjerembab kasus hukum baru-baru ini. Gisheila merupakan cerita kehidupan orang Batak, yang memiliki kualitas unggul dan layak dijadikan teladan atau contoh baik bagi masyarakat, khususnya kalangan generasi muda.    

Tentu saja, orang Batak tidak hanya memiliki satu orang cerdas seperti Gisheila, namun ada begitu banyak Gisheila-Gisheila lainnya, dengan segudang prestasi, bermoral baik, serta akhlak yang terpuji. Seharusnya, media dapat pula menampilkan informasi atau berita yang bisa dijadikan sebagai model pembelajaran baik bagi masyarakat, sehingga ada perimbangan informasi atau berita yang diterima masyarakat, tidak hanya menyangkut kasus-kasus pelanggaran hukum semata.

 

Dua Kutub Image Itu, Bukan Hanya Milik Orang Batak

Korupsi terjadi karena adanya perilaku konsumtif yang tidak lagi terkendali. Keadaan ini mendorong para pelakunya melakukan hal-hal diluar kemampuan dirinya sendiri.

(Sarwono Kusumaatmadja – Mantan Menteri)       

Image buruk terhadap orang-orang Batak mengemuka, karena ada sejumlah orang Batak, yang tidak mampu menahan diri untuk bisa memperkaya diri sendiri dengan cara-cara instan. Padahal, mereka adalah orang Batak terpelajar dengan penghasilan cukup besar oleh karena posisi atau jabatan yang mereka pegang.

Moral mereka perlahan-lahan tergerus karena mereka membiarkan ada pihak-pihak yang mendekati lalu memanfaatkan kecerdasan, jabatan serta posisi mereka, untuk meloloskan kepentingan pribadi atau golongan tertentu, hingga akhirnya, mereka ikut larung dalam budaya korup.

Untung saja, adanya wacana-wacana yang mendiskreditkan orang Batak, teredam oleh pemberitaan oleh kasus Ruyati dan pengumuman hasil survei oleh Lingkaran Survei Indonesia, terkait pada tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah serta kepemimpinan Presiden SBY. Wacana-wacana itu sendiri mengemuka sebagai bentuk kesimpulan yang menggeneralisasikan perilaku sejumlah orang, ke dalam lingkup komunitas masyarakat yang lebih besar lagi (masyarakat asal tanah Batak).

Tentu saja, anggapan seperti itu, tidak mengaktualisasikan keadaan, yaitu adanya sikap atau perilaku sejumlah orang Batak yang mencerminkan citra komunitas masyarakat Batak seluruhnya. Kalau pun ada bagian dari anggota komunitas masyarakat yang berperilaku buruk, sifatnya kasuistik belaka.

Dalam hal ini, adanya pengungkapan sejumlah kasus tindak pidana berskala nasional yang dilakukan oleh sejumlah orang Batak dalam rentang waktu yang berdekatan, juga bersifat kasuistik. Terlepas dari adanya perlakuan “tebang pilih” dalam pengungkapan kasus tindak pidana oleh KPK dan polisi, kondisi tersebut mungkin saja terjadi karena memang sudah saatnya kasus-kasus tersebut diungkap.

Walaupun dilihat dari sudut pandang kasus per-kasus, penahanan mereka tidak bisa dipakai sebagai tolak ukur untuk memunculkan suatu anggapan, adanya tipikal kesamaan sikap serta perilaku orang Batak itu sebenarnya dan seluruhnya dengan sikap serta perilaku para pelaku tindak pidana berskala nasional tersebut.

Contoh nyata kalau keadaan kesamaan tipikal tersebut tidak dapat diberlakukan, dapat dilihat dari hasil pencapaian yang diraih Gisheila Nainggolan, sebagai pemegang nilai tertinggi hasil ujian tingkat SMA se-Jakarta. Gisheila berhasil meretas alur pemikiran yang ingin memposisikan kalau orang Batak merupakan kumpulan pelaku-pelaku tindak pidana.

Antara kasus hukum yang dihadapi sejumlah orang Batak, serta keberhasilan yang dicapai Gisheila, berada pada koridor yang berbeda, dan mewakili cerminan perilaku yang berbeda pula (terpuji dan tidak terpuji), sehingga tidak mempengaruhi fokus pemikiran serta langkah kehidupan orang-orang Batak lainnya.

Rekam jejak kehidupan orang Batak, hampir sama dengan kelompok masyarakat lainnya. Ada masa penuh gemilang dan ada masa harus merangkak kembali dari bawah. Demikian pula dalam berkarir. Ada yang konsisten menjaga sikap serta perilaku jujur, namun ada pula orang-orang Batak yang ingin cepat kaya dengan mendapatkan harta kekayaan secara instan.

Semua bersifat normatif dan individual, tidak terkait dengan budaya serta adat istiadat orang Batak. Kondisi yang ada, tidak ada yang seratus persen mulus serta tanpa prahara kehidupan, karena orang Batak, juga manusia yang memiliki masalah dan menghadapi kendala kehidupan, sama seperti warga masyarakat yang lainnya.

Oleh sebab itulah, seharusnya ada pemisahan pola pemikiran atas perbuatan individual seseorang, dengan konsep budaya serta alam pemikiran suatu komunitas masyarakat, agar tidak lagi dianggap sebagai mewakili citra perilaku seluruh anggota kelompok masyarakat mereka. Pelanggaran hukum yang mereka lakukan, merupakan buah dari nafsu dan keinginan pribadi yang tak bisa diredam.

Adanya sejumlah orang Batak yang terlibat kasus tindak pidana berskala nasional, patut disesali. Nasi sudah jadi bubur. Sekarang tinggal bagaimana orang Batak, khususnya generasi muda Batak, dapat memilah-milah antara perbuatan yang baik dan tidak baik, khususnya dalam mencari nafkah.

Cerminan sikap serta perilaku manusia, ada yang membawa image positif, dan ada pula yang image negatif. Nenek moyang orang Batak tidak pernah mengisyaratkan kepada generasi penerusnya untuk mensiasati beratnya alur jalan kehidupan dengan melanggar hukum. Dasarnya cukup jelas, karena setiap generasi penerus keluarga keturunan suku Batak, adalah Anak Ni Raja dan Boru Ni Raja.

Jadi, orang Batak harus bisa menunjukkan sikap dan perilaku layaknya keturunan raja, bukan malah bertindak kriminal dengan memenuhi nafsu atau keinginan memperkaya diri semata.

 

 

.Sarlen J. Manurung

Labels: | edit post
0 Responses

Post a Comment