My Mind

Kalau sedang ada waktu luang atau sedang jenuh di rumah, saya sering pergi ke warung tenda milik Pak Huda yang ada di mulut gang menuju rumahku. Selain untuk menyantap makan malam, tujuan saya kesana adalah untuk ngobrol, menikmati es teh manis atau sekedar menikmati suasana malam.

Di warung tendanya itu, Pak Huda berjualan pecel lele dan pecel ayam, jenis usaha yang selama ini telah menjadi trademark usaha dagang orang-orang asal Lamongan, Jawa Timur. Pak Huda sendiri berasal dari Lamongan.

Kelebihan dari makanan yang dijual Pak Huda, berada pada sambal racikannya. Sambal terasi buatan Pak Huda, memiliki citra rasa tersendiri. Tingkat kepedasannya, cukup menggetarkan lidah.

Rasa dari sambal hasil racikan Pak Huda, memang memiliki sensasi rasa, tidak hanya didominasi oleh pedasnya cabai, namun ada rasa manis dan asamnya, sehingga menghadirkan kenikmatan tersendiri pada saat menyantap lele atau ayam goreng.

Bagaimana pun, makan pecel lele atau pecel ayam, akan lebih bisa dinikmati apabila pedagangnya mampu membuat cita rasa tersendiri atas sambalnya. Tanpa sambal yang menggugah selera, akan sama seperti makan pecel lele atau pecel ayam di rumah sendiri (gak harus enak, yang penting bisa di makan dan bikin kenyang).

Lokasi warung tenda milik Pak Huda, ada di pinggir Jalan H. Naman (jalan utama menuju TPU Pondok Kelapa), tepatnya ada di seberang dealer motor Yamaha, sekitar 500 meter dari persimpangan jalan dengan Jalan Raya Kalimalang (lampu merah Transito).

Di sepanjang Jalan H. Naman sendiri, ada 10 warung tenda lain dengan jualan makanan yang sama dengan menu yang dijual Pak Huda.

Semenjak buka pada pertengahan tahun 2008 lalu, Pak Huda sama sekali tidak pernah melakukan upaya promosi atas usaha dagangnya. Akan tetapi kini Pak Huda telah memiliki banyak pelanggan setia, yang datang untuk makan atau memesan untuk dibungkus dan dibawa pulang.

Beberapa waktu yang lalu, warung tenda milik Pak Huda juga pernah dikunjungi oleh orang penting, yaitu mantan menteri yang saat ini menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur, Bapak Syaefullah Yusuf. Waktu itu, Bapak Syaefullah Yusuf belum menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur, tapi masih menjabat sebagai Ketua Umum PB Anshor.

Anak penyanyi Ahmad Dhani, Al, juga pernah makan malam di warung tenda milik Pak Huda. Saat itu Al datang bersama asisten dan pembantunya.

Beberapa pesantren dan kelompok pengajian yang berlokasi di Pondok Kelapa, juga sering memesan makanan dari Pak Huda. Selain itu, para karyawan pabrik roti Batavia, juga suka makan malam atau membawa pulang berbungkus-bungkus makanan yang dibeli dari warung tenda “Restu Bunda” milik Pak Huda.

Sewaktu musim kampanye legislatif dan pemilihan presiden tahun lalu, para anggota tim sukses dari sejumlah partai politik (diantaranya ada Partai Demokrat, Partai Hanura, dan PDI-Perjuangan) juga memesan makanan dari warung tenda milik Pak Huda untuk kebutuhan kampanye dalam ruangan.

Bahkan, sejumlah TPS yang ada di seputaran Jalan H. Naman, juga memesan berbungkus-bungkus nasi beserta pecel lele dan pecel ayam (utamanya pecel ayam), untuk disajikan kepada para petugas yang belum selesai melakukan penghitungan suara hingga malam hari.

Saya sendiri, kalau ada teman-teman saya yang datang berkunjung ke rumah, saya juga membawa mereka untuk pergi makan malam disana.

Pengunjung harian warung tenda Pak Huda, meskipun tidak membludak, namun cukup ramai. Dalam sehari, Pak Huda menyediakan 48 potong ayam dan 3 kilogram ikan lele. Jumlah ayam serta ikan lele yang disediakan akan ditambah pada saat weekend.

Walau demikian, terkadang Pak Huda masih saja membawa pulang beberapa potong ayam dan beberapa ekor ikan lele saat tutup warung sekitar jam 2 pagi (mulai aktifitas jualan sekitar jam 17.30 sore) apabila pengunjung sedang tidak ramai.

“Biasa itu, namanya juga dagang,” kata Pak Huda kalau pengunjung sedang sepi.

Skala usaha dari warung tenda yang dijalani Pak Huda, memang tidak besar. Namun demikian, Pak Huda tidak pernah mengeluh kalau dagangannya tidak habis terjual.

Pak Huda adalah seorang yang tekun. Penampilannya bersahaja. Orangnya ramah, mudah bergaul, serta senang bercanda. Daya tarik terbesar dari Pak Huda yang saya senangi adalah : dirinya selalu mengucap syukur atas hasil yang diperolehnya dari berdagang pecel lele dan pecel ayam.

“Alhamdullilah Pak, Tuhan masih kasih saya rejeki,” katanya pada saya saat warung tendanya terlihat sepi-sepi saja.

Mungkin, karena dirinya tidak pernah lupa mengucap syukur, Tuhan tidak pernah membuat warung tendanya, tidak membawa rejeki bagi Pak Huda.

Usaha warung tendanya itu sendiri, telah dirintisnya semenjak Pak Huda masih bujangan, dan masih belum mempunyai apa-apa. Saat ini Pak Huda telah menikah serta memiliki seorang anak. Di rumah kontrakannya, Pak Huda telah memiliki televisi, lemari es, dan sepeda motor (walaupun motor tua) yang dipakainya untuk belanja keperluan warung.

Saya percaya, apa yang dicapainya saat ini, karena Pak Huda tak pernah lupa mengucap syukur pada Tuhan. Bagaimana pun, Tuhan adalah sumber karunia bagi orang yang percaya kepadaNya.

Lebih dari 4.200 orang membuka usaha warung tenda pecel lele serta pecel ayam di seluruh wilayah Jabotabek. Banyak diantaranya masih dalam tahap merintis mencapai tangga kesuksesan meskipun sudah bertahun-tahun membuka usaha.

Padahal, jika mereka mau berinovasi, mencoba membuat racikan bumbu yang tepat untuk menjaga kualitas rasa dari lele atau ayam yang disajikan, dan membuat racikan sambal yang dirasakan bisa di terima oleh lidah seluruh masyarakat, niscaya, para pelanggan akan datang dengan sendirinya.

Dalam bulan puasa, warung tenda milik Pak Huda tetap buka jam 17.30, namun jam tutupnya lebih lama, yaitu hingga saat sahur, untuk memenuhi kebutuhan warga yang ingin buka puasa dan makan sahur dengan menu pecel lele atau pecel ayam (ada pete juga lhooo...)

Jika ada waktu dan kesempatan, rekan-rekan bisa merasakan sendiri kenikmatan makan di warung tenda milik Pak Huda. Saya tidak menjanjikan, setelah makan pecel lele atau pecel ayam di warung tenda milik Pak Huda, kenikmatannya akan sampai terbawa ke dalam mimpi. Namun saya percaya, rekan-rekan akan ingin datang untuk makan lagi disana.  

Bagi rekan-rekan yang menjalankan ibadah puasa, selamat berpuasa. Maafkan saya jika saya pernah melakukan atau berkata-kata yang kurang menyenangkan hati rekan-rekan sekalian.

 

 

.Sarlen Julfree Manurung

Labels: 1 comments | | edit post
My Mind

Hari Minggu kemarin (24/07/11), aku dan pacarku tercinta, Ira Rupina Sinaga, mengunjungi Gandaria City. Niat datang kesana adalah untuk lunch dan wasting time. Kami memilih untuk makan di food court yang ada di mall itu.

Usai lunch, kami putuskan untuk menonton film Catatan Harian Si Boy di Bioskop XXI yang masih diputar di sana.

Film ini cukup menarik. Daya tariknya ada pada sejumlah dialog yang mengandung nilai-nilai filosofis kehidupan yang bisa dipetik oleh penonton film ini. Akan tetapi, secara keseluruhan, jalan cerita dari film itu, agak dipaksakan. Berbeda dengan film Catatan Si Boy yang dulu pernah meramaikan jagad perfilman Indonesia di tahun 1980-an lalu. 

Tulisan ini, bukan ingin memberikan kritikan lebih mendalam tentang film Catatan Harian Si Boy yang aku dan Ira tonton. Menurut aku, walaupun gak masuk ke dalam film kategori bintang empat atau lima, namun film Catatan Harian Si Boy ini, merupakan tontonan yang cukup menghibur.

Usai menonton, Ira mengajak aku untuk mengunjungi restaurant keluarga yang menyajikan menu andalan berupa kudapan roti bersalutkan ice cream. Sewaktu merayakan ulang tahun tanggal 18 Juli kemarin, Ira membawakan aku kue ulang tahun dari restaurant keluarga ini.

Di restaurant keluarga itu, aku memesan teh tarik, sedangkan Ira memesan Ogura Ice Cream, yaitu makanan berupa potongan-potongan roti berbentuk dadu yang diberi ice cream dan taburan kacang merah diatasnya.

Saat menikmati makanan yang kami pesan, kami sempat berbicara dengan salah seorang manager on duty dari restaurant itu. Jujur, aku benar-benar tidak mengira, kalau pria yang ada dihadapan aku sama Ira itu (saya menduga, usianya berkisar 24-an tahun) yang sempat berbicara dengan kami tersebut, adalah seseorang manajer.

Why? Karena tampilannya tidaklah seperti sosok seorang manager restaurant yang biasa saya temui di berbagai restaurant keluarga yang ada di banyak tempat.

Orangnya tidak gemuk dan tidak juga terlalu tinggi. Kulit badannya cenderung agak hitam, wajahnya tidak mulus (agak jerawatan), serta menggunakan kacamata dengan bingkai agak tebal berwarna hitam. Selain itu, pakaian seragam yang dikenakannya, menurut saya, adalah pakaian yang dipakai, dicuci, dijemur hingga kering, di setrika, dan dipakai lagi.

Maaf, saya sama sekali tidak bermaksud menghina penampilannya, atau tulisan ini aku buat untuk merendahkan harga diri manager restaurant yang kami kunjungi itu, karena memang, seperti itulah visualisasi penampilan manajer restaurant itu yang aku tangkap, saat aku dan Ira berbincang-bincang dengannya.

Faktanya memang demikian. Bisa dibilang, penampilan dari sang manajer, kalah keren dari sejumlah anak buahnya sendiri. Tapiii... ini cuma pandangan pribadi aku saja lhooo...

Well, harus aku akui, rasa kaget mengemuka karena aku berpikir dengan sudut pandang yang selama ini pernah aku temui saja, yaitu para manajer yang selalu tampil keren, sehingga ketika berjumpa dengan manajer restaurant itu, aku hanya terdiam.  

Aku sudah salah dalam menilai hanya karena melihat penampilan dari manajer restaurant itu. Nampaknya, aku sudah “menabrang” isi dari ungkapan lama yang berkata : “Don’t judge a book from the cover”, walaupun penilaian itu tidak aku nyatakan secara terbuka kepadanya.

Sepertinya, konsepsi pemikiran yang sama juga ada saat kami berdua berjalan melintasi sekumpulan sales kartu kredit yang bergerombol berdiri di salah satu selasar yang ada di Gandaria City. 

Meskipun kami melintas di depan mata mereka, akan tetapi tidak ada seorang pun dari antara mereka yang datang mendekati kami untuk menawarkan menggunakan kartu kredit dari bank yang mempekerjakan mereka, oleh karena penampilan kami yang biasa-biasa saja.

Kami memang tampil apa adanya. Aku mengenakan T-Shirt bergambar logo klub sepak bola Juventus warna hitam, dipadu dengan jaket bahan warna hitam, celana bahan warna hitam, dan beralas kaki sandal merk Diadora berwarna hitam. Aku juga membawa tas kecil yang berisi netbook.

Ira sendiri mengenakan T-Shirt warna pink serta celana pendek bahan warna cokelat muda. Alas kaki yang dipakai Ira adalah sendal jepit warna pink. Benar-benar simple.

Busana yang kami kenakan, adalah pakaian yang biasa kami pakai kalau kami lagi jalan-jalan berdua. Harganya tidak mahal, dan bukan pula pakaian yang baru / belum lama kami beli. Pakaian yang kami pakai saat itu, memang tidak ada kesan mahal atau menunjukkan citra seseorang yang berasal dari kaum berada.

Tampilan kami berdua memang santai. Kami berdua memang hanya mengandalkan kerapian dalam berpakaian semata. Yang penting, kami merasa nyaman dengan pakaian yang kami pakai. Kami bisa saja tampil keren dan glamour, tapi bergaya modis bukanlah tujuan kami keluar rumah saat itu.

Kalau saat itu kami agak sedikit “lecek”, karena saat itu kami menggunakan sepeda motor sebagai moda transportasi ke mall itu. Selain itu, kami juga kurang istirahat pada malam harinya.

Mungkin karena pakaian yang kami kenakan tergolong sederhana dan penampilan kami yang sedikit “lecek” (dalam arti, sama sekali tidak menampilkan citra orang kaya), membuat kami berdua sama sekali tidak dilirik oleh para sales kartu kredit itu.  Padahal, belum tentu kami tidak memiliki kesiapan diri untuk memegang kartu kredit.

Aku dan Ira, memang bukan dari kalangan berada. Namun itu bukanlah berarti kami tidak terbiasa dengan bentuk transaksi keuangan menggunakan kartu kredit, sebab kami berdua, pengguna kartu kredit (meskipun aku bukan pengguna aktif kartu kredit -> that is not my type).

Dalam banyak kesempatan, kita sering kali menilai orang lain dari tampilan fisik dan pakaiannya saja, karena memang, penampilan merupakan hal yang pertama kali di lihat orang lain. Padahal, dibalik penampilan yang sederhana atau biasa saja, ada banyak orang yang memiliki otak cemerlang, harta yang melimpah, atau kemampuan leadership yang baik.

Yaa.. terkadang kita terlalu cepat menarik kesimpulan tentang pribadi atau kemampuan orang lain, hanya dari “kulit luarnya” (penampilannya) saja, tanpa pernah mencoba menyelami sisi lain dari kepribadian orang yang kita beri penilaian.

Dalam bekerja, pakaian memang bisa menjadi gambaran siapa diri kita. Semakin tinggi level jabatan yang kita pegang di tempat bekerja, ada baiknya kalau kita sesuaikan dengan gaya atau penampilan kita, tidak tampil apa adanya saja. Bagaimanapun, pakaian yang kita pakai, bisa menjadi cerminan citra tempat kita bekerja.

Memang ada banyak faktor yang menjadi alasan kenapa seseorang ingin tampil sederhana atau biasa-biasa saja. Bukan karena tidak mampu untuk membeli pakaian baru dengan harga mahal, tapi karena merasa nyaman dengan yang dikenakan. 

Berpenampilan sederhana itu, bukan berarti seseorang tidak memiliki apa-apa lhooo... Namun dapat pula menjadi pertanda, seseorang itu tidak ingin menunjukkan apa yang dimilikinya, sehingga dapat bergerak bebas tanpa mengundang adanya tatapan mata atau sebentuk perhatian lain dari orang-orang disekitarnya. 

Dalam hal ini, quality of life kita tidak ditunjukkan melalui penampilan fisik atau busana yang kita kenakan, akan tetapi melalui tutur kata yang sopan dan perilaku yang santun, serta gaya hidup yang sehat. Ada kesadaran diri, bahwa diatas langit, masih ada langit, jadi gak perlu meninggikan dagu.  

Namun tetap saja kita harus memperhatikan atau menyesuaikan pakaian dengan tempat kita berada. Kalau sedang bekerja, pakailah pakaian yang layak dan pantas, Jika pimpinan di kantor, berusahalah untuk tampil layaknya seorang pimpinan, gak harus mengikuti tren mode. Soal citra rasa, kita gak harus mengikuti arus, tapi gak ada salahnya untuk menyesuaikan.

Pada sisi yang lain, kalau kita gak "dilirik" orang lain saat hang-out karena penampilan kita yang gak oke, tidak perlu marah atau kecewa. Santai saja, selama keberadaan kita tidak mengganggu orang lain, kita bisa bergaya sekena hati kita, coz yang tahu bagaimana cara kita menikmati jalan-jalan, adalah diri kita sendiri, bukan orang lain. 

Well, ternyata, ada banyak story yang bisa di dapat saat aku dan Ira jalan-jalan di Gandaria City.


.Sarlen Julfree Manurung



Labels: 0 comments | | edit post
My Mind

Beberapa minggu belakangan ini, tawuran antar warga, kembali marak di Jakarta. Awal bulan Juli 2011 ini, dalam 3 hari, terjadi tawuran antar warga di 3 lokasi yang berbeda : di Cilincing, Jakarta Utara (tanggal 1 Juli 2011), di kawasan padat penduduk Johar Baru, Jakarta Pusat  (tanggal 3 Juli 2011), dan di sekitar Pasar Rumput, Jakarta Selatan (tanggal 2 – 3 Juli 2011).

Aksi tawuran antar kelompok massa juga terjadi di Badung, Bali (penyebabnya, saling ejek di status facebook), dan tawuran antar mahasiswa di dalam area kampus Universitas Pattimura, Ambon – Maluku (penyebab tawuran tidak jelas).

Berdasarkan catatan Polda Metro Jaya, hingga bulan Juli 2011 ini, telah terjadi 36 kali aksi tawuran antar warga di Jakarta, dimana 32 diantaranya, terjadi di Johar Baru.

Kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat tawuran massal, biasanya terjadi di kalangan pelajar, antar anggota genk atau kelompok preman, antar kelompok etnis masyarakat, dan antar masyarakat kampung (wilayah pemukiman), seperti yang terjadi dalam tawuran antar warga di Cilincing, Johar Baru, disekitar Pasar Rumput, serta antar warga di Badung - Bali.

Hampir semua pemicu tawuran massal, adalah masalah-masalah sepele. Sebagian besar peristiwa tawuran massal, berawal dari adanya perasaan tersinggung (tidak terima) sekelompok warga karena diejek oleh anggota kelompok warga lainnya : saat berpapasan di jalan, saat menonton atau sedang bertanding sepak bola, dll.

Sedangkan penyebab aksi tawuran antar warga lainnya, berhubungan dengan masalah ekonomi (masalah utang-piutang, perebutan pengelolaan lahan perparkiran, perebutan tempat untuk lokasi berjualan, perebutan kawasan mengompas, dll.) serta adanya permasalahan pribadi yang kemudian berkembang menjadi masalah komunal.

Adanya upaya untuk mencegah terjadinya aksi tawuran antar warga sendiri, bukanlah suatu perkara mudah. Inti dari persoalan yang memicu terjadinya tawuran, tidak lagi jelas. Sejumlah pihak bahkan mengatakan, akar permasalahannya sudah ada sejak lama, bagaikan rasa dendam yang tidak pernah usai. Sedikit saja ada gesekan, peristiwa tawuran antar warga bisa langsung pecah (sulit dicegah).

Meskipun masih disekitaran wilayah yang sama, namun lokasi tawuran tidak hanya di titik-titik lokasi tertentu saja, serta tidak mengenal batasan waktu dan lokasi favorit. Contohnya, aksi tawuran antar warga di daerah Johar Baru, yang bisa terjadi pada pagi hari atau malam hari.

Bahkan, keberadaan ratusan aparat kepolisian bersenjata lengkap yang berjaga-jaga di seputar lokasi tawuran di Pasar Rumput, tidak menyurutkan “niatan” warga untuk tetap tawuran, bahkan tawuran masih berlanjut keesokkan harinya.

Dalam rangka mengantisipasi dan mengurangi aksi tawuran antar warga di Johar Baru, pihak Pemda DKI Jakarta memasang sejumlah perangkat CCTV di sejumlah lokasi strategis. Pemasangan sejumlah “kamera pengintai” tersebut dimaksudkan untuk mempercepat kedatangan pihak aparat keamanan di lokasi, pada saat tawuran akan terjadi atau baru saja terjadi.

Selain itu, hasil rekaman gambar yang diperoleh dari “kamera pengintai”, akan dipergunakan untuk membantu aparat kepolisian dalam mengidentifikasi, menindak, dan mengamankan para provokator serta para pelaku aksi tawuran.

Keputusan untuk memasang “kamera pengintai” diambil karena nampaknya, Pemda DKI, para tokoh masyarakat setempat, serta aparat kepolisian, masih belum menemukan formulasi yang tepat, untuk mencegah terulangnya kembali aksi tawuran antar warga.

Padahal, aksi tawuran antar warga bisa dicegah agar tidak terulang kembali, apabila warga diberikan ruang untuk berekspresi dan berkreasi.

Apabila pihak Pemda DKI Jakarta mau memfasilitasi adanya suatu wadah kegiatan bagi warga untuk bisa menyalurkan segenap bakat, kemampuan, serta minat warga pada suatu bidang usaha maupun ketrampilan tertentu, kiranya akan mendorong warga untuk tidak lagi berkeliaran atau “nongkrong” di pinggir jalan.

Berdasarkan hasil penyelidikan aparat kepolisian, aksi tawuran di sejumlah lokasi di Jakarta, sengaja diciptakan oleh para bandar serta pengedar narkoba yang “beroperasi” atau tinggal di seputar lokasi tawuran, untuk menghindar dari kejaran polisi yang akan menangkap mereka. Saat tawuran terjadi, mereka langsung melarikan diri.

Rata-rata para pelaku aksi tawuran berasal dari keluarga miskin. Kemiskinan membuat mereka tidak memiliki kemampuan keuangan memadai untuk memiliki modal membuka usaha atau melanjutkan sekolah mereka ke jenjang yang lebih tinggi.

Keterlibatan sejumlah warga dalam perdagangan narkoba, ditengarai sebagai upaya masyarakat agar bisa bertahan hidup, dengan memperdagangkannya atau menjadi kurir dari para bandar.

Sebaik apapun upaya mediasi dilakukan, tidak akan membawa banyak manfaat apabila pemerintah tidak berupaya semaksimal mungkin agar warga dapat terlibat dalam berbagai kegiatan positif dan produktif, dengan memfasilitasi kebutuhan warga sehingga mereka dapat meningkatkan kapasitas serta kualitas hidup mereka.

Tawuran seharusnya tidak menjadi fenomena atau dinamika dalam kehidupan masyarakat di ibukota, apabila Pemda DKI Jakarta jeli dalam menyikapi adanya masalah sosial besar yang menjadi latar belakang penyebab terjadinya serangkaian aksi tawuran antar warga.

Masalah sosial mengemuka, karena rendahnya tingkat kesejahteraan anggota masyarakat kota, yang kerap melakukan aksi tawuran. Oleh sebab itu, Pemda DKI Jakarta harus memberdayakan warganya, dengan menghadirkan wadah-wadah kegiatan yang bisa dipergunakan warga untuk berekspresi dan berkreasi. Bagaimanapun, tawuran hanya akan menimbulkan banyak kerugian, bukan manfaat.

Apabila kehidupan warga dapat lebih diberdayakan, kecil kemungkinan bagi warga untuk tidak hidup tertib, karena kualitas lingkungan serta kehidupan mereka, sudah jauh lebih baik.

Warga miskin kota adalah bagian dari kehidupan masyarakat kota. Keberadaan mereka tidak akan menimbulkan polemik berkepanjangan, apabila pemerintah dapat menghadirkan ruang berkegiatan bagi mereka, sehingga mereka dapat melepaskan diri dari tekanan hidup, terutama lagi, menutup peluang adanya pola pemikiran serta perilaku yang destruktif, anarkis, dan tidak bersahabat dengan lingkungan disekitarnya.

Upaya pencegahan harus diikuti dengan adanya keinginan pemerintah untuk membangun warganya agar dapat hidup lebih bermartabat, tidak lagi liar dan mudah tersinggung. Jika arah kehidupan dirasakan lebih jelas serta terarah, niscaya, keinginan untuk tawuran akan hilang dengan sendirinya. 


.Sarlen Julfree Manurung

Labels: 0 comments | | edit post
My Mind

Tidak ada keinginan untuk bertanya... enggan untuk melakukan sesuatu... merupakan sikap yang bisa ditemui pada pasangan yang sedang mengalami hubungan yang retak.

Kedua pihak sama-sama memilih untuk menahan diri, bersikukuh untuk tidak mendahului membuka pintu ruang komunikasi, karena gengsi menjadi pihak yang pertama kali menyapa. Mereka justru menunggu adanya niat atau inisiatif dari pasangannya, untuk menyampaikan keinginan berdialog.

Masalah membuat hubungan mereka menjadi renggang dan tidak lagi mesra. Penyebabnya, karena kurangnya hasrat serta kemauan diri (proses pembiaran masalah) untuk mencari titik temu dalam menyelesaikan masalah. Ketika hal itu terjadi, dimanakah cinta berada?

Suasana perang dingin tercipta. Keadaan ini perlahan-lahan memicu dimensi permasalahan, semakin berkembang, melebar ke hal-hal lain yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah yang ada.

Hal ini terjadi, karena masing-masing pihak lebih terpaku pada adanya benih-benh pemikiran negatif dalam benak pikiran mereka, atau karena mereka lebih cepat menerima, mencerna, menelan begitu saja, adanya asumsi, saran, dan masukan berkonotasi negatif (tidak independen), dari orang-orang di sekitar mereka.

Keadaan ini menimbulkan kesan, seakan-akan mereka sedang menghadapi suatu permasalahan yang kompleks atau multidimensional. Bahkan ada pula kesan, salah satu pihak (khususnya pihak yang sedang “bermasalah”) sengaja untuk menggantung masalah.

Saat segala sesuatunya dirasakan semakin runyam saja, akhirnya mereka membuat suatu keputusan (secara bersama-sama atau secara sepihak), untuk mengakhiri jalinan cinta kasih yang telah mereka bangun selama beberapa waktu lamanya.

Apakah memang, putus hubungan merupakan sebuah keputusan terbaik? Banyak yang berpendapat kalau memutuskan untuk mengakhiri hubungan, merupakan keputusan terakhir yang akan mereka ambil. Lalu, kalau ada pada urutan terakhir, kenapa bisa menjadi pilihan pertama? Jawabannya, tidak lain karena adanya hambatan dalam komunikasi.

 

Mengkoreksi Lewat Komunikasi

Langkah-langkah korektif seharusnya dilakukan, untuk mencegah adanya abstraksi pemikiran atau kesalahan-kesalahan dalam menyikapi peningkatan tendensi terhadap suatu keadaan, yang tercipta karena terlalu bersemangat / menggebu-gebu dalam mengimbuhi adanya taklimat pernyataan atau keadaan predictable atau unpredictable yang kelak menjadi simpul permasalahan.

Akan tetapi, langkah-langkah korektif terganjal oleh adanya pemikiran negatif, yang lebih menaungi benak pikiran, sehingga sulit untuk membuat kesepakatan win-win solution secara bersama-sama. Selain itu, sikap emosional dan antipati cenderung lebih mengemuka, sehingga sulit untuk menerima (apalagi mencerna) segenap pandangan, argumentasi, atau alasan yang dinyatakan pasangannya.

Ekspresi kemarahan tidak akan menghadirkan thematik jawaban terhadap beratus-ratus tanda tanya yang bertaburan di kepala. Apalagi kalau inspirasi yang ingin dipertanyakan, hanyalah fatamorgana dari semburat perasaan, yang ringan mengaduh karena penuh prasangka, padahal tanpa landasan.

Tindakan korektif juga terjadi ketika dialog menyertakan pula perasaan hati mencintai yang selama ini ada. Cinta membuat segala sesuatunya berasal dari hati. Saat hati ikut bicara, segala keputusan yang dibuat bersama, didasari oleh adanya kesadaran serta ketulusan hati.

Dalam hal ini, dialog ditempatkan sebagai sebuah upaya, mengembalikan lagi suasana hati agar bisa kembali penuh dengan rasa cinta. Oleh sebab itu, lakukan dengan tulus, bukan karena terpaksa.

 

Sikap Saat Berdialog

Penyelesaian masalah bisa dimulai dengan belajar menerima adanya keluhan dari pasangan. Dalam hal ini, setiap pihak belajar untuk menjadi seorang pendengar yang baik, sehingga bisa merenungkan atau mengkoreksi kembali, apabila ada kesalahan atau tindakan yang kurang tepat untuk dilakukan pada saat masalah mengemuka.

Dialog dapat berlaku efektif apabila masing-masing pihak dapat memberikan kesempatan pada yang lain, untuk mengutarakan isi hati dan argumentasinya. Selain itu, dialog merupakan momentum bagi seseorang untuk mengemukakan pintu prasangka dan alibinya, dengan menyampaikan pertanyaan.

Ruang lingkup permasalahan, tidak pernah lepas dari adanya kecurigaan atau prasangka buruk. Jadi, diharapkan ada jawaban yang bisa meluruhkan segenap keraguan dan pemikiran-pemikiran negatif, karena disampaikan secara jujur, terbuka, serta apa adanya. 

Berkata jujur merupakan konsekuensi dari adanya untuk membangun dialog yang sehat. Sedangkan sikap menutup-nutupi atau tidak mengakui adanya nilai-nilai kebenaran dari pernyataan yang dibuat pasangan, cenderung hanya akan meluruhkan kepercayaan pasangan, utamanya, di masa-masa yang akan datang.

Sulit rasanya membangun kembali kepercayaan dari pasangan, apabila kejujuran tidak ditempatkan sebagai “panglima” dalam menyampaikan kebenaran. Dalam sejumlah peristiwa, adanya pembelaan yang memang didasari oleh fakta atau keadaan yang ada, pasangan akan lebih  menterjemahkannya sebagai “dalil” atau “dalih” semata.

Pernah sekali saja berkata tidak jujur (apalagi melakukannya berulang kali), hanya akan membuat pasangan tidak membuka lebar-lebar pintu hatinya, untuk menerima pernyataan dari pasangannya, karena, seseorang yang emosinya sedang goyah, sulit untuk mengetahui adanya kebenaran jawaban dari pasangannya, meskipun untuk mengetahui adanya kebenaran jawaban tersebut, tidaklah sulit.  

Gambaran atas nilai-nilai kebenaran itu bisa dilihat dari : Kelancaran pasangan dalam menyampaikan jawaban (tekanan serta warna suara cenderung datar, tidak banyak berubah), adanya konsistensi dalam berucap, dan mampu menerangkan bagaimana urut-urutan alur peristiwa dengan tepat.

Kebenaran suatu jawaban juga dapat terlihat dari bahasa tubuh serta adanya kelekatan mata dalam memandang, meskipun sedang dalam posisi terintimidasi.

Seseorang yang tidak berkata jujur, akan menampilkan bahasa tubuh tidak tenang (terlihat gelisah), serta mata yang tidak berani beradu pandang.

Permasalahan juga bisa muncul karena salah satu pihak sengaja mengeliminasi adanya kesetaraan diantaranya keduanya. Terkadang, kondisi ini tetap ada dan terus berlanjut ketika dialog dilakukan.

Dalam bukunya yang berjudul “7 Ciri Pria Tidak Dewasa”, Ir. Eddy Leo, MTh. Menyebut adanya sikap mau menang sendiri (karena mengerupsi adanya nilai-nilai kesetaraan dalam hubungan), merupakan nafsu seseorang untuk menguntungkan dirinya sendiri.

Ego itu laksana menimbang dengan menggunakan timbangan dan takarannya sendiri. Jadi tidak aneh kalau seseorang yang sedang menunjukkan keegoisan sikapnya, tidak ragu mengorbankan orang lain demi mendapatkan impulsi yang lebih besar.

Ketika dialog dilakukan, ego ditempatkan sebagai sebuah upaya menguasai suasana, dimana hanya memberikan sedikit saja kesempatan pada pasangannya untuk berbicara, dengan cara memanipulasi keadaan, dan mengisinya dengan pembenaran-pembenaran atas pilihan sikapnya selama ini.

Padahal, jika lebih mengedepankan sikap egois, hanya akan meminimkan keluarnya pengakuan atas kebenaran alibi, argumentasi, dan pernyataan yang dikemukakan pasangannya, atau yang terungkap sepanjang dialog.

Orang yang egois sulit untuk menjadi seorang pendengar yang baik. Fakta membuktikan, sikap egois berada pada nomor urutan atas, sebagai penyebab kurang harmonisnya hubungan yang dibangun seseorang dengan kekasih hatinya. Dalam hal ini, berlaku egois bukanlah tanda hati yang mencintai.

“Sebab dimana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri, di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.”  - Yakobus 3 : 16

Dialog yang sehat dapat terbangun apabila setiap pihak tidak mengangkat sikap egoisnya pada saat mencoba memperbaiki hubungan yang retak. Lupakan saja adanya hasrat untuk bersikap egois pada pasangan apabila ingin hubungan dengan kekasih hati, kembali harmonis.

Bibit permasalahan terkadang berawal dari adanya sikap emoh untuk mengakui kesalahan (meminta maaf). Enggan meminta maaf karena telah melakukan perbuatan salah, merupakan bagian dari sikap egois manusia.

Mengakui perbuatan salah, bukanlah sesuatu hal yang hina, melainkan sikap seorang ksatria. Harga diri tidak akan tercabik karena harus menyatakan permintaan maaf atas perbuatan salah yang telah dilakukan. Itu wajib hukumnya, karena kata “maaf” merupakan ungkapan hati yang memerdekakan, mendamaikan, dan menentramkan suasana (hati atau keadaan) yang sedang runyam.

Selain itu, menyampaikan permohonan “maaf”, bukanlah pilihan sikap yang akan merendahkan diri sendiri, akan tetapi merupakan suatu representasi dari adanya kesadaran diri, kalau tetap bersikeras untuk mengilhami diri dengan aneka perbuatan salah, merupakan tindakan membohongi diri sendiri.

Bagaimana pun, awal kisah dari adanya kebersamaan dengan kekasih hati, tidak terjadi begitu saja, atau tanpa proses perkenalan atau pendekatan terlebih dahulu. Jadi, jangan ragu atau emoh untuk meminta maaf jika berbuat salah.


Komunikasi Sebagai Alat Mempersatukan Kembali

Peranan komunikasi dalam menciptakan harmonisasi hubungan diantara 2 anak manusia yang saling mengasihi, amatlah besar.

Dalam sejumlah peristiwa, hubungan yang retak terjadi karena komunikasi tidak lagi ditempatkan sebagai media untuk membina dan menjaga kelanggengan hubungan.  

Selain itu, keretakkan hubungan terjadi karena salah satu pihak menterjemahkan adanya situasi atau keadaan yang terasa berbeda atau dianggap tidak lagi sesuai dengan keinginan (contohnya : tiba-tiba jarang memberikan kabar – kirim SMS, menelpon, BBM-an), hingga akhirnya, muncul keraguan, kecurigaan, dan serangkaian inspirasi pemikiran negatif.

Terlepas dari adanya faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi (dengan alasan yang masuk di akal dan dapat dipertanggungjawabkan, tentunya), membangun suatu pola komunikasi yang sehat, selayaknya ditempatkan sebagai komitmen bersama, sehingga tidak muncul adanya suatu pemikiran atau upaya untuk saling menyakiti, dengan dalil, maksud, serta alasan apapun.   

Ingatlah selalu, ketika hubungan dengan kekasih hati baru terbentuk, semuanya itu diawali dengan menghadirkan keinginan serta niatan baik, yang dibungkus dengan buah-buah ketulusan hati, dalam suatu kerangka bingkai komunikasi. Tidak ada orang yang terinspirasi membangun hubungan, untuk menyakiti pasangannya.

Jika hubungan itu diawali dengan hati yang mencintai pasangan, kenapa harus dijalani atau diakhiri dengan saling menyakiti?.  

Kesalahan mungkin membuat hubungan dengan kekasih, menjadi retak. Namun itu bukanlah berarti, kesalahan tidak bisa dikoreksi atau kelak akan terulang kembali. Saat ada masalah yang mengganjal keharmonisan hubungan, segeralah temukan solusi penyelesaikan masalah, dengan melakukan dialog yang sehat bersama pasangan.

Dalam hal ini, setiap orang bisa saja menutup matanya untuk tidak melihat (pura-pura tidak memperhatikan keberadaan pasangan), akan tetapi, setiap orang tidak dapat menutup hatinya untuk tidak merasakan (kehadiran / keberadaan cinta kepada pasangan). Lihatlah kedalaman hatinya, bukan apa yang telah ditampilkan. Belajarlah dari kesalahan, dengan menghadirkan komunikasi, dari hati ke hati.


.Sarlen J. Manurung 

Labels: 0 comments | | edit post